Headlines

Penerapan Masuk Sekolah Pukul 06.30 WIB di Sukabumi Terkendala Geografis, Pemda Minta Penyesuaian

IMG 20250714 WA0021

Sukabumi – JAGAT BATARA. Pemerintah Kabupaten Sukabumi belum dapat menerapkan secara menyeluruh kebijakan jam masuk sekolah pukul 06.30 WIB yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 58/PK.03/DISDIK. Kebijakan yang mulai berlaku pada tahun ajaran 2025/2026 ini juga disertai sistem lima hari sekolah, yakni Senin hingga Jumat.

Bupati Sukabumi, H. Asep Japar, menegaskan bahwa faktor geografis menjadi tantangan utama dalam penerapan kebijakan tersebut. Hal itu ia sampaikan saat meresmikan Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 7 di Kecamatan Cibadak.

“Letak geografis Kabupaten Sukabumi cukup luas dan tidak semua wilayah memiliki akses mudah ke sekolah di pagi hari,” ujar Asep Japar, Senin (14/7/2025).

Asep menyatakan bahwa pemerintah daerah mendukung penuh kebijakan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, namun pelaksanaannya di tingkat kabupaten akan dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk ketersediaan transportasi dan jarak tempuh siswa.

Senada dengan Bupati, Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi, Khusyairin, menjelaskan bahwa saat ini pihaknya tengah melakukan pembahasan lintas sektor bersama berbagai instansi dan tokoh masyarakat.

“Kami melibatkan berbagai pihak, termasuk Kementerian Agama, tokoh masyarakat, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), agar pelaksanaannya realistis dan tidak memberatkan,” ujar Khusyairin.

Ia menambahkan, karakteristik wilayah Sukabumi yang sangat beragam menjadi salah satu faktor utama sulitnya penerapan serentak. Banyak sekolah berada di daerah pegunungan dengan medan terjal dan minimnya transportasi umum. “Siswa dari wilayah seperti ini sering berjalan kaki hingga beberapa kilometer,” imbuhnya.

Contohnya adalah SMPN 2 Gegerbitung yang sudah mulai menerapkan jam masuk pukul 06.30 WIB. Kepala sekolah R. Herawati Suryanegara mengatakan, meskipun aturan sudah dijalankan, pihaknya tetap memberikan toleransi bagi siswa yang terlambat, terutama bagi mereka yang berasal dari wilayah terpencil.

“Kami memahami bahwa siswa dari Kedusunan Suradita, misalnya, harus menempuh jalan berbatu dan licin sejauh lima kilometer. Sebagian bahkan berjalan kaki karena larangan membawa motor bagi anak di bawah usia tertentu,” jelas Herawati.

Selain itu, Herawati juga menyoroti kebijakan larangan penyediaan seragam olahraga oleh sekolah. Hal tersebut membuat siswa datang ke sekolah dengan seragam olahraga yang tidak seragam, karena sekolah dilarang menjual maupun menyediakan seragam tersebut.

“Anak-anak jadi memakai seragam yang beragam karena sekolah tidak boleh menyediakan atau menjual seragam olahraga,” ujarnya.

Dengan jumlah siswa sebanyak 156 orang, SMPN 2 Gegerbitung tetap berkomitmen melaksanakan aturan yang ditetapkan pemerintah, namun tetap mengedepankan sisi kemanusiaan dan pertimbangan kondisi di lapangan.

“Kami mendukung program pemerintah, tapi juga harus bijak menghadapi kondisi riil di lapangan,” pungkas Herawati. (MP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *