Garut – JAGAT BATARA. Ada kejadian unik sekaligus mengharukan saat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melakukan perjalanan dinas di kawasan Kabupaten Garut. Tidak seperti biasanya yang disambut dengan antusias oleh warga, kali ini perhatian Gubernur justru tertuju pada seorang kakek tua yang tengah berjalan di pinggir jalan sambil memanggul dua karung besar.
Tanpa ragu, Dedi Mulyadi langsung menghentikan laju mobil putih yang ditumpanginya dan mendekati kakek tersebut. Dalam percakapan singkat yang hangat menggunakan bahasa Sunda, kakek itu memperkenalkan diri sebagai Mang Atun.
Awalnya, Dedi tertarik membeli isi karung berisi barang-barang rongsok milik Mang Atun, yang langsung ia bayar seharga Rp100 ribu. Namun perhatian Dedi kemudian tertuju pada arit — alat pertanian tradisional berbentuk melengkung seperti bulan sabit — yang diselipkan Mang Atun.
Dengan rasa penasaran, Dedi Mulyadi bertanya apakah arit tersebut masih tajam. Mang Atun menjawab santai, bahkan menyebut ia membelinya di daerah Cijolang, sembari melontarkan pantun Sunda yang dibalas oleh Dedi. Suasana semakin hangat saat keduanya saling melempar canda dan senyum.
Namun suasana akrab itu berubah menjadi momen lucu sekaligus dramatis ketika Dedi Mulyadi menolak mengembalikan arit yang sedang ia pegang. Mang Atun berkali-kali meminta, bahkan menarik paksa alat itu sambil berkata, “Kadieukeun aritna!” (Sini aritnya!). Dedi, dengan gaya khasnya, merespons sambil tersenyum, “Engké heula, ditahan heula ah,” (Nanti dulu, saya tahan dulu ya).
Saling tarik arit pun tak terhindarkan. Bahkan beberapa ajudan Gubernur sempat turun tangan karena Mang Atun bersikeras tidak ingin kehilangan alat kerjanya yang berharga itu.
Setelah menyerah, Dedi akhirnya mengembalikan arit tersebut, namun tak berhenti di situ. Ia menawarkan uang Rp500 ribu untuk membeli arit itu. Penawaran itu langsung ditolak oleh Mang Atun, dengan alasan ia sangat membutuhkannya untuk mencari rumput pakan domba miliknya.
“Abah balik moal bisa ngala jukut atuh,” ujar Mang Atun.
Dedi Mulyadi mencoba membujuk, “Abah meuli deui, kuring butuh jang ngarit di sawah,” sambil tertawa kecil — menyiratkan bahwa ia ingin menyimpan arit itu sebagai kenang-kenangan, bukan untuk benar-benar dipakai bekerja.
Setelah beberapa kali dibujuk dan diberi pengertian, Mang Atun akhirnya luluh dan menyerahkan arit miliknya kepada Gubernur, lalu menerima uang Rp500 ribu tersebut.
Arit itu pun langsung dimasukkan ke dalam mobil dinas Gubernur sebagai simbol dari interaksi kecil namun bermakna antara seorang pemimpin daerah dan rakyat kecilnya.
Momen ini bukan hanya mengundang tawa, tetapi juga menyiratkan pesan empati, kesederhanaan, dan kedekatan seorang pemimpin dengan masyarakat di akar rumput. (Red)