JAKARTA – JAGAT BATARA. Praktik mafia peradilan kembali mencoreng dunia hukum Indonesia. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat membongkar skema suap dan kolusi yang melibatkan hakim, pengacara, dan pejabat pengadilan dalam perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya.
Dalam persidangan, terungkap adanya komitmen uang suap sebesar US$2,5 juta atau sekitar Rp40 miliar untuk memastikan tiga korporasi besar, yakni PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group, dan PT Musim Mas Group, mendapatkan putusan lepas (onslag van alle recht vervolging) dari dakwaan korupsi.
Hakim hingga Panitera Terlibat dalam Jaringan Suap
Mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, didakwa menerima suap yang dianggap sebagai gratifikasi sebesar Rp40 miliar. Uang tersebut diduga diterima bersama tiga hakim lainnya, yakni:
- Djuyamto (Ketua Majelis Hakim)
- Agam Syarief Baharudin
- Ali Muhtarom
Ketiganya adalah hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang mengadili dan akhirnya memutus lepas untuk tiga perusahaan besar dalam kasus ekspor CPO. Skandal ini juga menyeret nama mantan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, yang berperan sebagai perantara.
Kasus ini bermula dari penyidikan Kejaksaan Agung pada Juni 2023, yang menetapkan tiga perusahaan sebagai tersangka korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO periode Januari–April 2022. Di balik proses hukum tersebut, jaksa mengungkap adanya pertemuan rahasia pada Juni-Juli 2023 di sebuah vila di Sentul, Jawa Barat.
Pertemuan dihadiri oleh sejumlah pengacara dan konsultan dari AALF (Ariyanto & Arnaldo Araujo JR Soares Law Firm) serta LKBH MJ (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mitra Justitia), termasuk Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, Andi Ahmad Nur Darwin, dan Brian Manuel. Mereka menyusun skema pembelaan dan strategi untuk membebaskan tiga korporasi tersebut dari jeratan hukum, termasuk memanfaatkan rekomendasi Ombudsman sebagai bahan pertimbangan hakim.
Ketiga perusahaan kemudian memberikan Surat Kuasa Khusus (SKK) kepada dua firma hukum tersebut untuk menangani perkara di jalur pidana, perdata, dan Tata Usaha Negara (TUN).
Pada Januari 2024, Ariyanto menemui Wahyu Gunawan—rekan lamanya—untuk dikenalkan kepada pejabat di PN Jakarta Pusat. Wahyu mempertemukan Ariyanto dengan Arif Nuryanta, dan dari sinilah skema suap mulai berjalan.
Ariyanto menawarkan uang Rp20 miliar agar majelis hakim mengabulkan eksepsi. Namun, permohonan itu ditolak. Selanjutnya, Arif menunjuk Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom sebagai majelis hakim yang akan mengadili perkara.
Serangkaian Pertemuan dan Penyerahan Uang
- Mei 2024: Ariyanto, Wahyu, dan Arif bertemu di Resto Layar, Kelapa Gading. Ariyanto “titip perkara” ke Arif dan meminta bantuan agar perusahaan dibebaskan.
- Tiga hari kemudian: Ariyanto membawa tas berisi US$500.000 (sekitar Rp8 miliar) ke rumah Wahyu. Uang itu ditujukan untuk Arif dan para hakim. Arif lalu memberikan:
a. US$50.000 kepada Wahyu
b. Sisanya dibagikan di ruang kerja Arif kepada hakim Djuyamto, Agam, dan kemudian Ali.
Total pembagian pertama:
- Djuyamto: Rp1,7 miliar
- Agam: Rp1,1 miliar
- Ali Muhtarom: Rp1,1 miliar
- Arif Nuryanta: Rp3,3 miliar
Jaksa menyebut pembagian ini sebagai “uang baca berkas”.
Dalam pertemuan lanjutan pada 18 Juli 2024 di Resto Layar, Ariyanto menjanjikan “satu paket 20 miliar”. Namun Arif meminta US$3 juta untuk pembagian dengan majelis hakim. Ariyanto menyanggupi permintaan tersebut.
Tak lama kemudian, Marcella menghubungi M Syafe’i dari Wilmar Group melalui video call dan meminta Rp60 miliar. Uang ini berhasil dikumpulkan dalam tiga hari.
Serah Terima Koper Uang di Basement Mal
- Lokasi: Basement Pacific Place, Jakarta Selatan
- Isi: Dua koper berisi uang tunai pecahan US$100 total US$2 juta
- Penyerahan: Dari Syafe’i ke Ariyanto, lalu dari Ariyanto ke Wahyu, dan akhirnya diteruskan ke Arif melalui sopirnya, Emanuel Indradi alias Oki
Namun, Arif mengeluhkan jumlah uang yang diterima tidak sesuai. Permintaannya adalah US$3 juta, tapi yang diterima hanya US$2 juta. Meski begitu, permintaan putusan lepas tetap dipenuhi.
Di bulan Oktober 2024, uang suap kembali dibagi:
- Wahyu: US$100.000 (Rp1,6 miliar)
- Arif memisahkan Rp12,4 miliar, dan menyerahkan Rp18 miliar ke sopir Djuyamto
- Djuyamto membagi:
a. Dirinya sendiri: Rp7,8 miliar
b. Agam dan Ali: Masing-masing Rp5,1 miliar
Akhir dari skema ini terjadi pada 19 Maret 2025, ketika majelis hakim yang dipimpin Djuyamto menjatuhkan putusan lepas terhadap tiga perusahaan dalam perkara Nomor 39, 40, dan 41/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst tertanggal 17 Maret 2025.
Jaksa menyatakan, “Putusan onslag tersebut telah sesuai dengan permintaan pihak terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group melalui Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe’i.” (MP)