Headlines

HKBP Serukan Penutupan PT Toba Pulp Lestari: Picu Krisis Ekologi dan Sosial di Kawasan Danau Toba

Screenshot 2025 05 13 142900

MEDAN – JAGAT BATARA. Seruan keras datang dari Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), salah satu denominasi gereja terbesar di Indonesia, yang meminta operasional PT Toba Pulp Lestari (TPL) ditutup. Seruan ini disampaikan langsung oleh Ephorus HKBP Pendeta Victor Tinambunan, yang menyuarakan keprihatinan mendalam atas dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan aktivitas perusahaan pulp tersebut di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara.

“Sebagai bagian dari masyarakat Tanah Batak dan pemimpin gereja dengan sekitar 6,5 juta jemaat, saya menyatakan bahwa keberadaan PT TPL telah memicu krisis ekologi dan sosial serius—dari rusaknya ekosistem hingga pencemaran dan bencana yang berulang,” tegas Tinambunan kepada Tempo, Sabtu, 10 Mei 2025.

Tinambunan menyoroti bahwa keberadaan PT TPL di Toba telah menyebabkan kerusakan alam besar-besaran yang memicu banjir bandang, longsor, pencemaran air dan udara, serta perubahan iklim lokal. Salah satu bencana paling nyata ialah banjir bandang yang berulang kali menerjang kota Parapat, sebuah destinasi wisata utama di Danau Toba. Kota ini dikelilingi oleh kawasan hutan tanaman industri (HTI) eukaliptus milik PT TPL.

Terakhir, banjir bandang besar terjadi pada Maret 2025, melumpuhkan aktivitas warga dan merusak infrastruktur. Masyarakat dan berbagai pihak menuding bahwa penggundulan hutan alam dan ekspansi eukaliptus oleh TPL menjadi penyebab utamanya.

Selain kerusakan lingkungan, Pendeta Tinambunan juga menyoroti konflik agraria berkepanjangan yang melibatkan PT TPL dan masyarakat adat. Ia menyebut konflik ini telah menimbulkan korban jiwa, luka-luka, hilangnya lahan pertanian produktif, dan keretakan sosial antarwarga.

Dua kasus besar yang disorot media dalam tiga tahun terakhir adalah:

  • Penculikan lima warga Desa Sihaporas, Simalungun, pada Juli 2024 yang terkait konflik lahan dengan TPL.
  • Bentrokan antara warga Sihaporas dan polisi pada 2022, setelah warga mencoba memblokade jalan menuju lahan adat mereka yang diklaim sebagai konsesi TPL.

“Semua ini bukan insiden semata, tetapi jejak konflik panjang selama 30 tahun terakhir. Sudah cukup. Kami menyerukan agar operasional PT TPL ditutup,” ujar Tinambunan dengan nada tegas.

Menanggapi tudingan tersebut, Direktur PT TPL Jandres Silalahi membantah bahwa perusahaannya menjadi penyebab kerusakan ekologi maupun konflik sosial. Ia menegaskan bahwa TPL telah diaudit secara komprehensif, termasuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022, dan dinyatakan mematuhi seluruh regulasi yang berlaku.

“Kami berkomitmen pada pelestarian lingkungan dan pembangunan sosial. Lokasi banjir bandang terakhir bahkan berjarak 4 kilometer dari konsesi kami dan masih terhalang hutan lindung. Secara ilmiah, tidak terbukti TPL menjadi penyebabnya,” klaim Jandres.

Namun, klaim tersebut dibantah oleh hasil ekspedisi independen yang dilakukan oleh Pendeta Jurito Sirait dan Dosen Kebijakan Lingkungan Universitas HKBP Nommensen, Dimpos Manalu. Mereka menyebut jarak titik awal longsor hanya 2,33 kilometer dari konsesi TPL, bukan 4 kilometer seperti pernyataan manajemen perusahaan.

Riset gabungan dari KSPPM, AURIGA, AMAN Tano Batak, dan Jaringan Advokasi Masyarakat Sumut juga memperkuat temuan ini. Data mereka mencatat bahwa antara 2000–2023, luas hutan alam di sekitar Parapat menyusut hingga 6.503 hektare, dan secara paralel, area kebun eukaliptus milik TPL justru meningkat dalam jumlah yang sama.

Dengan menyebut situasi sebagai “ironi kehidupan” di Tanah Batak, Pendeta Tinambunan menyampaikan seruan penutupan operasional TPL sebagai tanggung jawab moral gereja terhadap alam dan masyarakat.

“Kami tidak menginginkan konflik, tetapi kita tidak boleh membiarkan eksploitasi terus merusak tanah leluhur dan masa depan generasi Batak. Seruan ini kami sampaikan demi keadilan ekologis dan sosial,” pungkasnya.

Seruan ini kini menjadi tekanan moral dan politik baru terhadap TPL, dan sekaligus memantik perhatian publik luas akan urgensi perlindungan kawasan Danau Toba, salah satu kawasan strategis nasional dan ikon pariwisata Indonesia. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *