JAGAT BATARA.
Oleh: Hartanto Boechori – Wartawan Utama, Ketua Umum PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia)
Disclaimer: Saya bukan ahli atau praktisi Hukum, bahkan bukan Sarjana Hukum. Karenanya, saya terbuka atas kritik dan koreksi dari pihak yang lebih berkompeten melalui hotline WA: 081330222442.
Catatan Untuk Pembenahan Internal Administrasi Peradilan
KUASA SAH, TAPI DITOLAK
Dalam praktik peradilan, publik kerap berhadapan dengan sikap administratif yang membingungkan, menyimpang dari asas Hukum dan asas keterbukaan. Salah satu contoh, terjadi di Pengadilan Agama (PA) Surabaya, kemarin, Jum’at 1 Agustus 2025. Awalnya petugas menolak memberikan salinan berkas perkara kepada pemohon yang membawa Surat Kuasa Khusus yang sah dari salah satu pihak perkara. Alasan mereka, pemohon walaupun memegang Surat Kuasa, namun bukan pengacara (Advokat) para pihak perkara.
Awalnya saya menolong anggota saya, anggota Departemen Pusat Usaha Pers PJI yang digugat cerai istrinya. Saya diberi Surat Kuasa Khusus yang substansinya sempit dan terbatas; ‘Khusus mewakili Pemberi Kuasa/Tergugat untuk meminta dari PA Surabaya, segala jenis berkas perkara perceraian atas gugatan istrinya’.
Di PA Surabaya, saya diarahkan ke loket informasi dan pengaduan. Surat Kuasa asli dan berbagai dokumen pendukung saya serahkan dan saya sampaikan tujuan mengambil berkas perceraian. Ternyata perkara telah diputus Verstek (tanpa kehadiran Tergugat).
Petugas masuk ke dalam ruang dengan membawa berkas saya, dan beberapa saat kemudian kembali menghadapi saya. Saya ditanya hal yang saya nilai, ‘aneh’, “untuk apa?” Saya tanggapi dengan nada agak sinis, intinya itu hak Tergugat terkait permasalahan Hukumnya. Dilanjutkan, “tidak bisa, karena bapak bukan pengacara para pihak perkara”.
Saya minta ditunjukkan aturan hukumnya, namun tak bisa menjawab. Petugas itu masuk lagi agak lama. Ternyata meminta petunjuk ‘Bu Waka’, yang ditegaskan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Surabaya. Saya diminta membuat surat pengajuan ‘untuk dipertimbangkan’. Saya minta kepastian dari ‘Bu Waka’ atau siapapun yang berkompeten, bahwa permintaan saya dipastikan akan diberikan. Saya juga minta kepastian waktu.
Petugas itu masuk lagi, dan setelah itu saya ditemui Humas PA, Mustafa, di lobby. Aneh lagi, saya diminta membuat surat pengajuan sebagai langkah ‘KIP’ (Keterbukaan Informasi Publik). Saya perjelas lagi bahwa saya mewakili pihak Tergugat untuk mengambil salinan putusan. Titik. Kalau ditolak, saya minta alasan hukumnya. Akhirnya saya diberi salinan putusan yang saya minta.
Sebenarnya saya telah memprediksi dan bahkan ‘sudah tahu’ akan mendapatkan perlakuan demikian. Namun untuk memastikan, saya sengaja ‘menabrak’. Walau saya awam, tetapi puluhan tahun saya membantu permasalahan Hukum masyarakat dan mempelajari Hukum secara otodidak. Pemahaman Hukum saya, penolakan seperti itu tidak berdasar hukum, bahkan melanggar Hukum.
DASAR HUKUM JELAS DAN MASIH BERLAKU
Pasal 123 HIR (Herzien Inlandsch Reglement); “Jika pihak-pihak yang berperkara tidak datang menghadap sendiri, maka mereka boleh menyuruh orang lain dengan surat kuasa khusus untuk mewakilinya”.
Artinya, pihak yang bersengketa tidak wajib hadir sendiri dan dapat diwakili oleh siapapun, asal membawa Surat Kuasa Khusus yang sah, dan tidak harus Advokat.
Sebagai catatan, HIR (HIR Staatsblad 1941 No. 44) merupakan Aturan Hukum Acara Perdata dan Pidana, bagian dari Kitab Hukum Acara Perdata yang masih berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Dan sepemahaman saya, pasal 123 HIR tetap sah dan berlaku hingga kini, menjadi landasan utama kewenangan Kuasa Non Advokat dalam perkara perdata.
Selain itu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1959 menyebutkan; “Salinan putusan hanya boleh diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada wakilnya yang sah”.
Ini memperjelas pengambilan salinan putusan dapat dilakukan oleh siapa saja yang diberi kuasa hukum secara sah. Bukan hanya oleh pengacara resmi. Dan sepengetahuan saya, 2 dasar Hukum ini belum ada peraturan/aturan Hukum yang menganulir.
PENTINGNYA PEMBENAHAN INTERNAL
Fakta bahwa petugas loket pengadilan menolak permohonan pengambilan berkas dengan alasan yang bertentangan dengan dasar hukum yang sangat mendasar, mengindikasikan adanya kebijakan internal yang perlu ditinjau ulang. Saya yakin, petugas loket hanya menjalankan perintah atasan. Maka itu, sorotan seyogyanya ditujukan pada struktur komando dan standar operasional di baliknya.
Pengadilan adalah lembaga publik, bukan institusi privat. Penafsiran hukum bukan hak prerogatif pejabat administrasi, melainkan ranah wewenang yudisial yang mesti didasarkan pada norma hukum tertulis. Bila ruang pelayanan hukum dalam peradilan dipersempit secara sepihak, akan menjauhkan masyarakat dari keadilan itu sendiri. Hukum pun kehilangan roh utamanya sebagai pelindung dan pengayom rakyat.
Keadilan hak setiap warga negara, bukan milik sekelompok profesi atau golongan tertentu. Pengadilan seyogyanya menjadi tempat perlindungan terakhir yang dapat diandalkan oleh rakyat kecil. Bila hukum dan administrasi peradilan dijalankan tidak semestinya, maka yang tersisa hanyalah pagar-pagar birokrasi yang justru membatasi akses masyarakat terhadap keadilan.
Akhir kata, tulisan ini bukan semata kritik, tetapi ajakan untuk introspeksi dan pembenahan. Saya percaya banyak aparatur pengadilan yang profesional, cerdas, dan terbuka terhadap koreksi. Namun benang kusut dalam pelayanan hukum harus diluruskan sampai elemen terbawah, agar cita-cita reformasi hukum tak berhenti di atas kertas, dan masyarakat tak dipaksa tunduk pada kebijakan yang tak sejalan dengan hukum itu sendiri.