Jakarta – JAGAT BATARA. Senin, 18 November 2024. Aksi Jaksa Agung ST Burhanuddin yang mengungkit kembali isu pengepungan Kejaksaan Agung oleh oknum Brimob Polri pada Mei 2024, dalam sesi Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan. Banyak pihak yang menilai bahwa langkah Jaksa Agung tersebut lebih bersifat sebagai upaya untuk mengalihkan isu terkait dengan kegagalan Kejaksaan Agung dalam menangani dua kasus besar: kasus PT Timah dan kasus dugaan korupsi impor gula yang melibatkan eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong.
Pengalihan Isu Terkait Kasus PT Timah
Dalam RDP yang berlangsung di Gedung Parlemen, Jakarta pada Rabu, 15 November 2024, anggota Komisi III DPR RI dari berbagai fraksi mengecam lambannya progres pengusutan kasus PT Timah, sebuah perusahaan tambang negara yang diduga terlibat dalam praktik korupsi. Jaksa Agung ditanya mengenai kemajuan penyidikan dan potensi kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp300 triliun, namun belum ada tersangka yang dikenakan hukuman berat.
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Jaksa Agung justru kembali mengungkit insiden yang terjadi pada Mei 2024, di mana sejumlah oknum anggota Brimob Polri melakukan konvoi di sekitar Gedung Kejaksaan Agung. Burhanuddin menyatakan bahwa kejadian tersebut—yang disebutnya sebagai pengepungan oleh oknum Brimob—merupakan bagian dari upaya Polri untuk mengintai penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus PT Timah. Ia juga mengungkapkan bahwa oknum Brimob yang terlibat dalam peristiwa tersebut telah ditangkap oleh Kejaksaan Agung dan diserahkan sepenuhnya ke Mabes Polri.
Namun, pernyataan Jaksa Agung ini mendapat kritik keras dari berbagai pihak, salah satunya dari Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, yang menyebut langkah tersebut sebagai taktik pengalihan isu. Sugeng menyatakan bahwa pengungkapan kembali insiden pengepungan itu justru memperlihatkan ketidakmampuan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus PT Timah yang penuh kontroversi dan telah menarik perhatian publik, khususnya terkait dengan kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah. “Pengepungan itu sudah lama selesai dan tidak ada lagi masalah. Kalau Jaksa Agung kembali mengungkit hal itu, saya rasa ini adalah upaya untuk mencari alasan atas gagalnya penanganan kasus PT Timah,” ujar Sugeng, Minggu (17/11/2024).
Kasus PT Timah: Perebutan Kewenangan antara Kejagung dan Polri
Sugeng juga menyoroti bahwa sebenarnya Bareskrim Polri memiliki kewenangan utama dalam penyidikan kasus PT Timah, mengingat kasus ini menyangkut tindak pidana pertambangan, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara adalah kewenangan Polri. Dalam hal ini, Kejaksaan Agung telah melampaui batas kewenangan institusional dengan mengambil alih penyidikan kasus korupsi PT Timah, yang semestinya ditangani oleh Bareskrim Polri.
Menurut Sugeng, perebutan kewenangan antar institusi ini menyebabkan ketegangan yang berujung pada insiden pengepungan yang melibatkan Brimob. “Kasus ini menunjukkan adanya konflik antarlembaga, di mana Kejaksaan Agung lompat pagar masuk ke wilayah yang seharusnya menjadi wewenang Polri,” tambahnya.
Dugaan Framing Isu Pengepungan
Dalam konteks ini, Komjen Pol Imam Widodo, Dankorbrimob Polri, langsung membantah adanya pengepungan oleh Brimob. Dalam klarifikasinya, Komjen Imam menganggap pernyataan Jaksa Agung tentang pengepungan tersebut sebagai framing atau pemahaman yang keliru. “Tidak ada pengepungan yang dilakukan oleh Brimob terhadap Kejaksaan Agung. Itu hanya framing saja, tidak ada hal lain yang perlu diperdebatkan,” kata Imam di Mako Brimob, Depok, pada Kamis (14/11/2024).
Imam juga menegaskan bahwa Polri dan Kejaksaan Agung memiliki tugas yang saling melengkapi, dan keduanya harus berkoordinasi dalam penegakan hukum. “Apa yang disampaikan oleh Kapolri adalah yang kami laksanakan. Kami tidak berdiri sendiri,” tegas Imam, menanggapi klaim Jaksa Agung terkait adanya pengepungan.
Kasus Tom Lembong dan Isu Politis
Tidak hanya PT Timah, dalam RDP tersebut, Jaksa Agung juga ditanya mengenai penanganan kasus dugaan korupsi impor gula yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong. Kasus ini juga dipertanyakan karena dianggap bernuansa politik dan tidak kunjung memberikan hasil yang memadai. Burhanuddin mencoba menepis tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa Kejaksaan Agung sudah melakukan penyidikan sesuai prosedur, meskipun banyak pihak yang merasa bahwa kasus ini tidak diproses secara serius.
Kritik terhadap kinerja Kejaksaan Agung dalam kedua kasus ini semakin kuat, terutama mengingat ketidakjelasan progres penyidikan dan keputusan hukum yang diterima oleh para tersangka. Bahkan, dalam banyak kasus, hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak sebanding dengan potensi kerugian negara yang ditimbulkan.
Tindak Lanjut dan Perspektif Hukum
Dari sudut pandang hukum, pengungkapan kembali insiden pengepungan oleh Jaksa Agung dapat dianggap sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian publik dari kegagalan penanganan kasus-kasus besar. Dalam sistem peradilan yang adil dan transparan, setiap lembaga penegak hukum harus bertindak sesuai dengan kewenangannya dan menjaga integritas dan profesionalisme dalam setiap tahapan penyidikan.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan Agung memiliki kewenangan dalam mengusut tindak pidana korupsi, namun dengan memperhatikan batas-batas kewenangan yang diatur dalam undang-undang lain, seperti dalam hal ini, kewenangan Bareskrim Polri dalam kasus yang terkait dengan pertambangan. Jika terjadi tumpang tindih kewenangan, hal ini bisa berpotensi menimbulkan konflik antarlembaga, yang mengganggu kelancaran proses hukum.
Dengan demikian, penyelesaian konflik kewenangan antara Kejaksaan Agung dan Polri, serta penegakan hukum yang adil dalam kasus-kasus besar, menjadi penting agar proses hukum di Indonesia berjalan sesuai dengan prinsip due process dan transparansi. (Red)