Sukabumi – JAGAT BATARA. Pemerintah Indonesia resmi memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagai pengganti PP Nomor 5 Tahun 2021. Regulasi baru ini diterapkan dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan perizinan serta memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha.
Namun, dalam pelaksanaannya di daerah, penerapan PP 28 Tahun 2025 justru memunculkan sejumlah tantangan. Masyarakat dan pelaku usaha mengeluhkan kendala dalam pengurusan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), yang salah satunya disebabkan oleh persoalan kesesuaian tata ruang yang belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem Online Single Submission (OSS).
Koordinator Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Nina Widiawati, menjelaskan bahwa kendala tersebut muncul seiring dengan perubahan mekanisme perizinan dari PP 5 Tahun 2021 ke PP 28 Tahun 2025. Menurutnya, sistem perizinan yang sebelumnya bersifat lebih otomatis kini menerapkan tahapan penapisan yang lebih ketat.
“Kalau dulu tidak ada penapisan, sekarang ada penapisan. Misalnya untuk SPL, dulu itu lebih otomatis. Sekarang memang harus melalui penapisan ke Amdalnet, begitu juga dengan tata ruang,” ujar Nina kepada awak media, Rabu (17/12/2025).
Ia menjelaskan, pada sistem yang baru, aspek tata ruang menjadi faktor penting yang harus dinilai terlebih dahulu oleh dinas teknis terkait, yakni Dinas Agraria dan Tata Ruang (ATR) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Untuk ruangnya harus ada penilaian dulu. Jadi diverifikasi oleh dinas ATR dan BPN,” jelasnya.
Lebih lanjut, Nina menuturkan bahwa meskipun suatu kegiatan usaha tergolong berisiko rendah, badan usaha tetap diwajibkan menjalani proses penilaian kesesuaian ruang. Hal ini berbeda dengan usaha perorangan skala mikro yang masih dapat terbit secara otomatis.
“Walaupun risikonya rendah, tapi kalau badan usaha tetap harus ada penilaian. Kecuali perorangan, itu bisa terbit otomatis skala mikro,” katanya.
Penilaian tersebut mencakup kesesuaian lokasi usaha dengan rencana tata ruang wilayah. Setiap wilayah telah memiliki peruntukan masing-masing, baik untuk perumahan, industri, maupun kegiatan lainnya, yang tertuang dalam peta zonasi atau poligon tata ruang.
“Misalnya di wilayah Cisaat, ruangnya untuk kegiatan apa—perumahan atau industri—itu sudah terpetakan di kota poligon. Artinya kawasan tersebut sudah memiliki tata ruang khusus,” terang Nina.
Akibat penerapan mekanisme baru ini, Dinas Perizinan Kabupaten juga merasakan dampaknya. Proses penerbitan perizinan yang sebelumnya dapat dilakukan secara otomatis kini harus menunggu verifikasi dari dinas teknis terkait.
“Untuk sekarang, kami juga masih kesulitan karena ada hambatan ini. Biasanya bisa terbit otomatis, sekarang harus menunggu verifikasi dari dinas teknis di luar kami,” ungkapnya.
Meski demikian, Nina berharap sistem baru tersebut dapat segera berjalan secara optimal. Pihaknya telah melakukan berbagai upaya koordinasi dan sosialisasi guna membantu masyarakat memahami perubahan mekanisme perizinan.
“Harapannya sistem ini cepat aktif dan efektif. Kami sudah koordinasi ke BKPM dan melakukan sosialisasi ke kecamatan serta kelurahan untuk membantu masyarakat,” katanya.
Terkait kesiapan sumber daya manusia, Nina memastikan bahwa pemerintah daerah telah menyiapkan petugas operator di setiap wilayah untuk mendampingi masyarakat dalam proses pengurusan perizinan.
“Ada petugas di sana, ada operatornya, dan semuanya gratis,” pungkasnya.
Pemerintah daerah berharap, seiring dengan berjalannya waktu, integrasi sistem OSS serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia dapat memperlancar implementasi PP 28 Tahun 2025, sehingga pelayanan perizinan berusaha di daerah dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
