Bekasi – JAGAT BATARA. Ratusan siswa SMAN 9 Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, menggelar aksi demonstrasi damai pada Selasa (3/6/2025), sebagai bentuk kekecewaan terhadap dugaan pungutan liar (pungli) yang terjadi di lingkungan sekolah mereka. Aksi yang berlangsung di halaman sekolah itu diwarnai dengan poster-poster bernada sindiran tajam terhadap kepala sekolah dan pihak manajemen.
Para siswa, yang mayoritas berasal dari kelas X dan XI, menuntut transparansi terkait sumbangan yang selama ini telah dipungut oleh pihak sekolah. Sumbangan tersebut disebut-sebut berkedok sebagai biaya akademik dan non-akademik, seperti pembangunan gedung dan pengadaan alat pendingin untuk mushala. Namun hingga kini, para siswa menilai janji realisasi fasilitas tersebut tak kunjung terwujud.
“Katanya untuk gedung. Tapi sampai sekarang masih begini-begini saja. Orangtua saya sudah bayar setiap tahun Rp 500.000,” ujar RP, salah satu siswa kelas XI.
Tak hanya itu, para siswa juga mengeluhkan permintaan sumbangan harian sebesar Rp 20.000 per kelas untuk pengadaan pendingin ruangan mushala. Meskipun jumlahnya terlihat kecil, namun beban tersebut dirasa tidak adil dan memberatkan, apalagi jika tidak disertai dengan transparansi penggunaan dana.
Permasalahan tidak berhenti pada sumbangan pembangunan. Fasilitas Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) juga menjadi sorotan. Menurut para siswa, UKS hanya dilengkapi meja tanpa kursi dan kasur, serta tidak memiliki persediaan obat selama dua bulan terakhir.
RP mengungkapkan, saat ada siswa yang membutuhkan perawatan, pengurus UKS harus menggunakan uang pribadi untuk membeli obat. Ironisnya, uang yang dikeluarkan itu tidak diganti oleh pihak sekolah.
“Kalau ada uang sendiri, saya pakai uang saya dulu. Tapi tidak diganti,” kata RP.
Isu lain yang mencuat dalam aksi protes ini adalah permintaan tanda tangan siswa untuk sejumlah kegiatan sekolah yang sudah selesai dilaksanakan, seperti buka puasa bersama, pesantren kilat, dan lomba-lomba.
Seorang siswa lain berinisial H menilai permintaan tanda tangan tersebut janggal, sebab dilakukan jauh setelah kegiatan selesai, bahkan tanpa kejelasan maksudnya.
“Kami diminta tanda tangan tanpa tahu tujuannya apa. Waktu hari-H kegiatan juga sudah ada daftar hadir, tapi tetap diminta tanda tangan lagi,” kata H.
Bahkan, dalam beberapa kegiatan, siswa mengaku tidak mendapatkan snack, meskipun dalam laporan pertanggungjawaban kegiatan dinyatakan ada pembagian konsumsi.
Menanggapi aksi siswa, Humas SMAN 9 Tambun Selatan, Sahri Ramadhan, menyatakan bahwa memang ada sumbangan yang diminta kepada orang tua murid. Namun, ia menegaskan bahwa sumbangan tersebut bersifat sukarela dan tidak wajib.
“Memang ada sumbangan akademik dan non-akademik. Tapi itu sifatnya tidak wajib, bagi siapa saja yang ingin menyumbang,” ujar Sahri.
Ia juga mengatakan bahwa tidak ada batasan nominal dalam sumbangan tersebut, tergantung kesanggupan masing-masing orang tua. Namun, Sahri tidak menjelaskan siapa pihak-pihak yang membuat kesepakatan sumbangan tersebut.
Menyoal dugaan pungli, Sahri menyebut kejadian ini menjadi bahan evaluasi internal sekolah, dan pihaknya akan meninjau kembali mekanisme permintaan dana ke depan.
“Dengan ini mungkin menjadi bagian dari evaluasi kami untuk ke depan,” imbuhnya.
Terkait polemik tanda tangan siswa, Sahri menyebut hal itu diperlukan untuk memperbaiki dokumen Surat Pertanggungjawaban (SPJ) kegiatan Ramadhan, khususnya buka puasa bersama. Ia mengakui bahwa permintaan tanda tangan dilakukan setelah kegiatan selesai karena kebutuhan administratif.
“Sehingga anak-anak merasa apa yang ditandatangani itu tidak berdasarkan fakta di lapangan,” kata Sahri.
Ia juga membantah tudingan bahwa snack tidak dibagikan kepada siswa, dan mengklaim seluruh peserta menerima konsumsi sesuai dokumentasi kegiatan.
“Kami dari pihak sekolah sudah mengakomodasi itu. Ada dokumen, kemudian ada realisasi pelaksanaannya. Sehingga tidak tahu dari mana sumber permasalahan ini muncul kembali,” ujarnya.
Meski pihak sekolah telah memberikan klarifikasi, demo para siswa membuka ruang bagi publik dan otoritas terkait untuk menyelidiki lebih jauh transparansi dana di sekolah negeri tersebut. Dengan status sekolah sebagai instansi pendidikan publik, segala bentuk sumbangan dan pengelolaan anggaran harus mengikuti asas akuntabilitas dan partisipasi.
Protes siswa ini pun menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan terhadap lembaga pendidikan, agar tidak terjadi penyimpangan dana yang justru membebani siswa dan orang tua.
Kini, masyarakat menanti langkah konkret dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan instansi terkait untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang telah mencoreng nama dunia pendidikan. (Red)