Jakarta — JAGAT BATARA, 1 Juli 2025. Upaya hukum terakhir yang diajukan pengusaha money changer Helena Lim resmi kandas di Mahkamah Agung (MA). Lembaga peradilan tertinggi itu menolak kasasi Helena terkait kasus mega korupsi pengelolaan timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Dengan demikian, vonis 10 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta tetap berlaku.
“Tolak,” demikian bunyi amar putusan kasasi dengan nomor perkara 4985 K/PID.SUS/2025, sebagaimana dilansir dari situs resmi MA pada Selasa (1/7/2025).
Majelis hakim MA yang menangani perkara ini diketuai oleh Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto, dengan dua anggota, yakni Agustinus Purnomo Hadi dan Achmad Setyo Pudjoharsoyo. Ketiganya membuat keputusan secara bulat (unanimous), tanpa adanya dissenting opinion. Putusan tersebut diambil dalam waktu hanya 10 hari sejak diterimanya berkas kasasi.
Helena Lim sebelumnya divonis 5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Ia dinyatakan bersalah karena terbukti membantu praktik korupsi dalam skandal pengelolaan timah yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pengusaha Harvey Moeis.
Dalam putusan tingkat pertama, Helena juga dijatuhi hukuman denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan penjara, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 900 juta.
Namun, jaksa penuntut umum tidak puas dengan vonis tersebut dan mengajukan banding. Hasilnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Helena menjadi 10 tahun penjara. Ia juga dijatuhi denda Rp 1 miliar, dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Helena kemudian mengajukan kasasi, yang akhirnya ditolak MA.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan di pengadilan, jaksa menyebut Helena Lim berperan penting dalam memfasilitasi arus uang hasil korupsi. Ia adalah pemilik money changer PT Quantum Skyline Exchange (QSE), yang digunakan untuk menampung dana dari pengusaha Harvey Moeis.
Dana tersebut — senilai USD 30 juta atau sekitar Rp 420 miliar — disebut sebagai uang ‘pengamanan’ atas kerja sama ilegal antara smelter-smelter swasta dan PT Timah Tbk. Dana itu disamarkan seolah-olah sebagai dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan dicatat sebagai transaksi penukaran valuta asing di PT QSE.
Meski Helena tidak tercatat secara resmi dalam akta pendirian perusahaan, jaksa menyatakan bahwa ia adalah pengendali utama PT QSE dan menikmati keuntungan dari praktik tersebut. Dari skema ini, Helena memperoleh laba pribadi sebesar Rp 900 juta, hasil dari transaksi valuta asing yang berlangsung selama periode 2018 hingga 2023 dalam beberapa kali transfer.
Penolakan kasasi oleh MA terhadap Helena Lim menegaskan konsistensi penegakan hukum dalam skandal mega korupsi timah yang hingga kini menjadi perhatian nasional. Selain Helena, sejumlah tokoh lain juga telah dijatuhi hukuman, termasuk Harvey Moeis, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (eks Dirut PT Timah), dan para direktur dari berbagai perusahaan smelter yang diduga turut terlibat dalam praktik manipulasi kerja sama pengelolaan tambang timah.
Dengan vonis ini, Helena Lim kini resmi menjalani hukuman pidana penjara 10 tahun, sekaligus harus membayar denda dan uang pengganti sesuai ketentuan putusan banding yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa skema penyamaran dana korupsi melalui jalur keuangan informal seperti money changer kini menjadi atensi serius aparat penegak hukum, dan siapa pun yang terlibat akan dimintai pertanggungjawaban secara tegas di hadapan hukum. (Red)