Jakarta – JAGAT BATARA. Sosok Kombes Pol Deonijiu de Fatima bukan hanya dikenal sebagai perwira menengah Polri yang menjabat sebagai Kepala Biro Operasi Polda Nusa Tenggara Timur (Karo Ops Polda NTT). Di balik pangkat dan jabatannya, ia menyimpan kisah perjuangan hidup yang luar biasa. Mulai dari menjadi tukang tambal ban, sopir angkot malam, hingga mengumpulkan limbah kayu untuk dijual, semua pernah dijalaninya demi memenuhi kebutuhan hidup secara halal dan tanpa gengsi.
Kini, namanya bahkan diusulkan sebagai salah satu kandidat Hoegeng Awards 2025, penghargaan bagi polisi jujur, bersih, dan sederhana.
Kisah Deonijiu diungkap oleh Sangpahot David Siregar (45), pedagang asal Tapanuli Utara, yang mengenal Deonijiu sejak tahun 2002. Kala itu, David sempat menumpang tinggal di rumah Deonijiu di kawasan Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
“Waktu itu saya pikir dia polisi kaya, ternyata kami makan singkong rebus dan tempe tiap hari. Hidupnya sangat sederhana,” ujar David. Saat itu, Deonijiu sudah berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP).
David bahkan mengaku dibantu dicarikan pekerjaan oleh Deonijiu, meskipun kondisi ekonominya sendiri masih pas-pasan. Bahkan untuk membantu David, Deonijiu sampai mengajukan pinjaman ke bank.
“Gimana caranya jangan cuma saya doang yang makan,” kata David menirukan ucapan Deonijiu.
Dalam wawancara dengan detikcom pada Selasa (8/4/2025), Deonijiu menceritakan perjuangannya sejak lulus Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1996. Ia menjual motor hasil cicilan untuk membuka usaha tambal ban, keterampilan yang ia pelajari saat SMA.
Bahkan saat menjalani pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), ia menarik angkot pada malam hari menggunakan mobil teman untuk menutup kebutuhan kuliah.
“Kami narik malam supaya bisa beli buku dan fotokopi,” kenangnya.
Tak hanya itu, ia juga mengumpulkan dan menjual limbah kayu bekas peti kemas bersama teman-temannya di Cikarang, dan hasilnya dibagi untuk tambahan rezeki. Dari penghasilan tersebut, ia dan sang istri—yang seorang asisten farmasi—kemudian membuka toko obat di Cileungsi, Bogor.
“Kami belanja obat di Jatinegara, hujan-hujanan pun kami jalani,” kata Deonijiu.
Dalam menjalani hidup, Deonijiu berpegang teguh pada nilai kejujuran dan kerja keras. Ia menolak mengambil jalan pintas, sekalipun peluang itu terbuka melalui jabatannya.
“Menghindari pelanggaran, cari uang halal. Jabatan bukan untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.
Deonijiu juga berpesan agar tidak malu hidup sederhana. Ia mengajarkan kepada keluarganya bahwa hidup berkualitas hanya bisa dicapai dengan rezeki halal.
“Orang yang gengsi akan berpikir negatif. Hidup apa adanya, syukuri, dan terus berjuang,” ujarnya bijak.
Lahir di lereng gunung Timor Leste dari keluarga petani sederhana dengan 11 bersaudara, Deonijiu sempat putus sekolah saat gejolak politik pertengahan 1990-an. Ia lalu menjadi tenaga bantuan operasi TNI (saat itu ABRI) dan tinggal di hutan selama empat tahun bersama para prajurit.
Dari pengalaman itulah, tumbuh tekad untuk mengabdi kepada negara. Ia mengikuti seleksi dan akhirnya lolos masuk Akpol tahun 1996. Sejak itu, hidupnya penuh perjuangan namun tetap di jalur kejujuran.
David Siregar menyebutkan bahwa hingga tahun 2019, Deonijiu dan keluarga masih tinggal di rumah kontrakan. Tapi, alih-alih mengeluh, ia selalu bersyukur.
“Ya kita syukurin saja, suatu saat pasti dikasih Tuhan,” ujar David menirukan kata-kata sahabatnya itu.
Pengusul Hoegeng Awards, Andi, menyebutkan bahwa Deonijiu juga aktif membantu anak-anak dari NTT yang ditampung dan dibiayai dari hasil kerja kerasnya sendiri. Bukan dari uang negara, bukan dari gratifikasi, melainkan dari keringat pribadi.
“Walau sudah perwira, beliau tetap jadi tukang tambal ban dan sopir angkot. Semua demi membantu orang lain,” ujar Andi.
Perjalanan hidup Kombes Deonijiu de Fatima adalah contoh nyata bahwa jabatan dan kesederhanaan bisa berjalan berdampingan. Integritas, kejujuran, dan kerja keras menjadikannya bukan hanya pejabat kepolisian, tetapi inspirasi nyata bagi masyarakat dan institusi Polri.