Headlines

Ketua Umum PJI: Hakim Langgar SEMA, Mafia Hukum Masih Bercokol!

WhatsApp Image 2025 09 29 at 18.32.44

Surabaya – JAGAT BATARA, Minggu (29/9/2025). Aroma tajam ketidakadilan dalam sistem hukum Indonesia kembali tercium dari Surabaya. Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) angkat bicara lantang atas kasus yang menimpa salah satu anggotanya, Hendro Moedjianto (79), yang sedang terlibat dalam sengketa tanah panjang melawan Leon Agustono. Ketua Umum PJI, Hartanto Boechori, dengan tegas menyebut adanya dugaan pelanggaran hukum berat oleh aparat penegak hukum hingga menyentuh ranah mafia hukum.

Konferensi pers yang digelar di Excelso Jemursari Surabaya ini dihadiri langsung oleh Hendro, sang istri, dua penasihat hukumnya yaitu MMT Yudhihari HH., SH. dan Yuno Veolenna T.E.P.M, serta tokoh sentral, Ketua Umum PJI Hartanto Boechori.

Dalam pemaparannya, Yudhihari menyoroti perjalanan hukum Hendro yang penuh dengan ketidakpastian. Ia menilai, aparat penegak hukum justru memperkeruh keadaan dengan putusan yang inkonsisten dan sarat dugaan pelanggaran terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2020.

“SEMA tersebut dengan jelas menyatakan, dalam perkara perdata, pemilik sah tanah adalah pihak yang namanya tertera dalam sertifikat hak milik (SHM). Bahkan bila tanah dibeli menggunakan uang orang lain, tetap yang tercantum dalam sertifikat adalah pemilik sah,” ujar Yudhihari sambil menunjukkan isi SEMA.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa ketentuan tentang nominee arrangement (pinjam nama) telah ditegaskan Mahkamah Agung, bahwa dalih seperti itu tidak dapat menghapus kepemilikan hukum berdasarkan sertifikat. Sayangnya, menurut Yudhihari, hakim dalam perkara Hendro justru mengabaikan ketentuan ini secara terang-terangan.

Permasalahan berawal pada 29 Juni 2001, saat Hendro dan Leon mendirikan PT Anyar Motor di hadapan Notaris Tirtayanti. Dalam perjalanannya, Hendro membeli tujuh bidang tanah melalui akta jual beli sah, yang kemudian diterbitkan menjadi SHM atas nama dirinya.

Namun pada tahun 2004, terjadi perubahan besar. Menurut Hendro, tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Leon secara sepihak membubarkan PT dan mengubahnya menjadi CV, yang hanya mencantumkan dirinya sendiri. Lebih mengejutkan, tujuh bidang tanah milik Hendro diklaim sebagai aset CV dengan dalih bahwa nama Hendro hanya “dipinjamkan”.

Leon kemudian menggugat ke Pengadilan Negeri Surabaya. Dan sejak saat itu, perjalanan hukum Hendro bak roller coaster — naik turun penuh drama.

  • PN Surabaya (2018) dan PT Jatim (2019) memenangkan Leon.
  • Kasasi di MA (2020) berpihak kepada Hendro – menyatakan gugatan Leon tidak dapat diterima.
  • Namun Peninjauan Kembali (PK) tahun 2023 dan 2024, kembali dimenangkan oleh Leon.
  • Berdasarkan putusan itu, PN Mojokerto dan PN Surabaya melakukan eksekusi terhadap tanah milik Hendro pada 12 Juni 2024.

Hendro tidak tinggal diam. Ia mengajukan perlawanan atas eksekusi. PN Mojokerto menolak, namun PT Surabaya (2025) menyatakan eksekusi tidak sah dan mengembalikan status kepemilikan tanah kepada Hendro.

Kini, Leon kembali mengajukan kasasi dan prosesnya masih menunggu putusan Mahkamah Agung.

Tak hanya jalur perdata, upaya pidana pun dijalani Hendro. Ia melaporkan dugaan pemalsuan akta dan keterangan palsu ke Polda Jatim (2017) dan Polres Jombang (2024). Namun kedua laporan itu dihentikan karena alasan “tidak ada peristiwa pidana”.

Yudhihari mempertanyakan keputusan tersebut karena Notaris Mayuni Sifyan Hadi, yang membuat akta pembubaran PT secara sepihak, sudah dinyatakan bersalah oleh Majelis Pengawas Notaris (MPN). Ironisnya, notaris tersebut tak pernah diperiksa oleh penyidik.

Hartanto Boechori, tokoh nasional yang juga dikenal sebagai pemilik Sasana Kick Boxing “BKBC”, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus ini. Ia mengecam keras tindakan aparat hukum yang dinilai telah mengabaikan aturan Mahkamah Agung sendiri.

“SEMA No. 10 Tahun 2020 menyebutkan pemilik tanah adalah nama dalam sertifikat. Jika ini saja bisa diabaikan hakim, lalu ke mana rakyat mencari kepastian hukum?” tegasnya.

Ia juga menyoroti inkonsistensi putusan pengadilan sebagai indikasi kuat adanya mafia hukum yang masih bercokol di tubuh peradilan.

“Kalau hakim sendiri bisa memutus bertolak belakang dengan sumber hukum yang berlaku, itu artinya sistem hukum sedang sakit. Ini bukan lagi soal sengketa tanah, tapi menyangkut wibawa peradilan,” sambungnya.

Hartanto mendesak:

  • Mahkamah Agung, Badan Pengawas MA, dan Komisi Yudisial segera memeriksa hakim-hakim yang membuat putusan inkonsisten dan bertentangan dengan SEMA.
  • Polri agar membuka kembali laporan pidana Hendro, dan memeriksa Notaris “Janggo” yang sudah terbukti bersalah oleh MPN.
  • MPN agar lebih tegas terhadap notaris-notaris nakal yang merugikan masyarakat.

“Saya akan menyurati semua instansi terkait, sampai kepada Presiden. Penegakan hukum dan keadilan harus menjadi skala prioritas untuk direvolusi,” pungkas Hartanto. (MP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *