Jakarta – JAGAT BATARA. Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah digodok oleh DPR bersama pemerintah akan menghadirkan aturan penahanan yang jauh lebih terukur dan tidak mudah disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Jumat (11/07/2025), Habiburokhman menyatakan bahwa aturan penahanan dalam RKUHAP yang baru dirancang sedemikian rupa agar tidak memudahkan aparat melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa tanpa dasar yang kuat.
“Saya agak viral kemarin karena Pasal 93 ayat (5) tentang syarat penahanan. Kita membuat syarat penahanan lebih terukur sehingga tidak gampang orang ditahan,” ungkapnya.
Menurut Habiburokhman, draf RKUHAP yang baru mencantumkan syarat-syarat penahanan yang jelas dan konkret. Beberapa di antaranya adalah:
- Tersangka atau terdakwa mengabaikan panggilan penyidik sebanyak dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.
- Memberikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta pada saat pemeriksaan.
- Menghambat proses pemeriksaan.
- Berupaya melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
- Melakukan tindak pidana kembali.
- Keselamatan tersangka atau terdakwa terancam (atas persetujuan atau permintaan mereka sendiri).
- Mempengaruhi saksi agar tidak mengatakan kebenaran.
Ia juga menjelaskan bahwa salah satu poin awal yang sempat diusulkan, yaitu “tidak bekerja sama dalam pemeriksaan”, telah dihapus dari draf setelah melalui pembahasan intensif.
“Kita sepakat untuk drop poin C tersebut karena dianggap terlalu multitafsir,” ujarnya.
Lebih lanjut, Habiburokhman membandingkan aturan penahanan dalam KUHAP yang lama dengan draf RKUHAP baru. Dalam KUHAP lama, seseorang bisa langsung ditahan hanya berdasarkan tiga kekhawatiran: melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
“Tiga kekhawatiran saja sudah bisa menahan orang di KUHAP lama. Di KUHAP baru, semuanya dibikin lebih terukur. Yang tadinya cuma ‘kekhawatiran’, sekarang diubah menjadi ‘berupaya’. Kalau ‘berupaya’, berarti harus ada tindakan yang konkret dan bisa dibuktikan,” jelasnya.
Terkait munculnya kritik dari sebagian masyarakat yang menilai RKUHAP baru lebih berbahaya, Habiburokhman menyatakan kebingungannya. Ia justru menilai KUHAP yang berlaku saat ini lebih berisiko karena memberikan kewenangan besar kepada aparat hanya dengan alasan kekhawatiran yang sifatnya sangat subjektif.
“Jadi saya bingung kenapa KUHAP baru disebut berbahaya. Justru pengaturan di KUHAP yang existing saat inilah yang bahaya. Anda bisa ditahan hanya karena orang khawatir. Siapa yang bisa menilai kekhawatiran itu? Sangat subjektif sekali,” tegasnya.
DPR dan pemerintah saat ini masih terus membahas draf RKUHAP secara rinci agar sistem hukum acara pidana di Indonesia menjadi lebih adil, akuntabel, dan tidak membuka celah penyalahgunaan kewenangan. (MP)