Headlines

Hadiah untuk Guru Dianggap Gratifikasi, KH Cholil Nafis: Jangan Hilangkan Budaya Ikhlas Masyarakat

Screenshot 2025 05 08 104358

JAKARTA – JAGAT BATARA, Pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menegaskan bahwa pemberian hadiah kepada guru bisa dikategorikan sebagai gratifikasi menuai respons dari berbagai kalangan. Salah satu yang angkat bicara adalah Ketua MUI Bidang Ukhuwah dan Dakwah, KH Muhammad Cholil Nafis.

Melalui akun resmi media sosialnya di X (@cholilnafis), KH Cholil menyatakan dukungannya terhadap pemberantasan gratifikasi, namun menilai bahwa konteks budaya dan ketulusan masyarakat perlu dipertimbangkan secara arif.

“Saya setuju semua bentuk gratifikasi dihilangkan,” tulis Cholil pada Senin (6/5/2025).
“Tapi janganlah menghilangkan budaya masyarakat yang memang ikhlas mau memberi hadiah kepada guru, apalagi guru di kampung.”

Ia mengingatkan bahwa hadiah kepada guru, terutama di wilayah pedesaan, sering kali merupakan bentuk penghormatan dan apresiasi dari hati yang tulus. Bukan dalam rangka memengaruhi keputusan atau meminta imbal balik, sebagaimana esensi gratifikasi menurut hukum.

KH Cholil pun menyoroti prioritas kerja lembaga antikorupsi agar lebih fokus pada gratifikasi dengan nilai besar dan berdampak sistemik, seperti yang sering terjadi dalam konteks politik dan birokrasi.

“KPK baiknya ngurus gratifikasi yang besaran dikitlah, seperti Pilkada, birokrasi dll,” tegasnya.

KPK: Hadiah untuk Guru Termasuk Gratifikasi
Sebelumnya, KPK melalui Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Wawan Wardiana, menegaskan bahwa pemberian hadiah kepada guru oleh wali murid dalam momen seperti kenaikan kelas tidak dapat dianggap sebagai rezeki, melainkan masuk kategori gratifikasi.

Penegasan ini merujuk pada hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang menunjukkan masih adanya praktik semacam ini di lingkungan pendidikan.

“Bagaimana mensosialisasikan gratifikasi itu, itu bukan rezeki. Harus dibedakan mana rezeki, mana gratifikasi. Jadi selalu kita gembar-gemborkan kepada mereka, disosialisasikan, dikampanyekan oleh kita dalam bentuk formal maupun non-formal,” ujar Wawan.

Wawan juga menyampaikan bahwa upaya memerangi gratifikasi bukan hanya tugas KPK semata. Ia mendorong seluruh pihak, mulai dari sekolah, guru, orang tua, hingga media massa, untuk aktif berpartisipasi dalam pendidikan antikorupsi sejak dini.

“Ini sekali lagi bukan hanya tugas KPK. Tugas kita semua, media juga termasuk di dalamnya. Orang tua, guru, dan lain-lain, karena pendidikan yang pertama adalah di keluarga. Makanya tadi ada pendidikan keluarga, kita juga masuk ke sana,” jelasnya.

Perlu Pemahaman Kontekstual
Polemik ini menyoroti pentingnya pembedaan antara gratifikasi yang bermuatan kepentingan dan bentuk penghargaan sosial yang tulus. Di tengah semangat reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, muncul pertanyaan: di mana batas antara niat baik masyarakat dan pelanggaran etika?

Pernyataan KH Cholil Nafis mencerminkan suara masyarakat yang masih memegang erat nilai budaya lokal—terutama dalam hal menghormati guru, sosok yang dianggap pahlawan tanpa tanda jasa. Namun di sisi lain, KPK tetap mengingatkan bahaya gratifikasi dalam bentuk apa pun jika dibiarkan tanpa kontrol.

Diskusi ini menjadi penting, tidak hanya sebagai bahan refleksi hukum dan kebijakan, tetapi juga sebagai momen edukasi tentang pembangunan integritas tanpa mengorbankan kearifan budaya. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *