Jakarta – JAGAT BATARA. Kamis, 12 Desember 2024. Dalam upaya memberantas praktik mafia dan tindak pidana korupsi yang merusak integritas sektor obat dan pangan, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar melakukan pertemuan penting dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, pada Rabu, 11 Desember 2024. Dalam pertemuan tersebut, BPOM mengajukan permintaan untuk mendapatkan pendampingan hukum dari Kejaksaan Agung guna mengatasi berbagai tantangan hukum yang dihadapi dalam menjalankan tugas pengawasan yang sangat strategis tersebut.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan komitmen Kejaksaan Agung untuk memberikan dukungan penuh kepada BPOM dalam memberantas praktik mafia dan tindak pidana korupsi yang mencemari sektor pengawasan obat dan makanan. “Kami akan memberikan pendampingan hukum, mulai dari penyelesaian gugatan perdata hingga pemberian opini hukum dan legal advice yang diperlukan. Semua itu kami lakukan untuk memastikan bahwa BPOM dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Burhanuddin kepada wartawan setelah pertemuan.
Burhanuddin menambahkan, Kejagung siap memberikan dukungan maksimal kepada BPOM dalam hal gugatan-gugatan hukum yang melibatkan badan tersebut. “Kami akan bekerja sama, baik dalam hal pendampingan hukum di tingkat pusat maupun daerah. Bila ada gugatan atau persoalan hukum lainnya, serahkan kepada kami untuk penyelesaiannya,” lanjut Burhanuddin, menegaskan peran Kejagung sebagai mitra hukum yang akan memberikan bantuan penuh kepada BPOM.
Di sisi lain, Kepala BPOM Taruna Ikrar menjelaskan bahwa lembaganya memiliki tugas pengawasan yang sangat luas dan kompleks, mencakup ratusan ribu entitas yang terlibat dalam industri obat dan pangan, baik dari sektor pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Oleh karena itu, BPOM menghadapi sejumlah kerawanan, termasuk potensi korupsi, praktik mafia, serta pelanggaran dalam pengedaran obat dan pangan ilegal.
“BPOM memiliki tupoksi yang sangat besar. Dengan banyaknya stakeholder seperti industri obat dan makanan, izin ekspor dan impor, serta sertifikasi produk yang harus diawasi, tentunya banyak potensi kerawanan yang bisa terjadi. Kami menyadari bahwa pengawasan ini membutuhkan dukungan penuh, baik dari sisi regulasi maupun penegakan hukum,” ungkap Taruna.
Lebih lanjut, Taruna mengungkapkan bahwa BPOM kini memiliki kedeputian penindakan yang terdiri dari 600 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Namun, jumlah ini masih sangat terbatas mengingat luasnya wilayah pengawasan yang harus dijangkau. “Dengan lebih dari 6.700 pegawai di seluruh Indonesia, jumlah PPNS yang hanya sekitar 600 orang jelas belum cukup untuk menangani kejahatan siber, peredaran obat dan pangan ilegal, serta tindak pidana lainnya yang berpotensi merugikan masyarakat. Kami sangat membutuhkan pendampingan hukum dan bimbingan teknis dari Kejaksaan Agung dalam hal ini,” jelas Taruna.
Sebagai langkah konkret, BPOM juga berencana memperkuat kerjasama dengan Kejaksaan Tinggi di tingkat daerah. Kolaborasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap wilayah memiliki pendampingan hukum yang memadai dalam mengawasi dan menegakkan aturan terkait obat dan pangan. “Kami ingin memastikan BPOM menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dan bebas dari mafia. Ini adalah komitmen besar kami untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan hanya dalam konteks anggaran, tetapi juga dalam aspek kesehatan dan keselamatan publik,” tegas Taruna.
Dalam penutupan pertemuan, Taruna menegaskan bahwa BPOM tidak hanya bertugas mengawasi peredaran obat dan makanan, tetapi juga berperan vital dalam menjaga keselamatan bangsa, terutama dalam hal kesehatan masyarakat. “Kami berharap dengan adanya pendampingan hukum dari Kejaksaan Agung, BPOM dapat semakin efektif dalam menjalankan tugas pengawasan dan penegakan hukum di sektor ini,” tambahnya.
Pertemuan ini menandai langkah awal yang strategis dalam memperkuat kerjasama antara BPOM dan Kejaksaan Agung, dengan harapan bahwa sinergi ini akan membawa dampak signifikan dalam pemberantasan mafia dan korupsi yang merusak sektor kesehatan dan pangan di Indonesia. (Red)