Jakarta – JAGAT BATARA. Isu kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun 2026 menuai penolakan luas dari anggota Komisi XI DPR RI. Dalam rapat bersama Kementerian Keuangan pekan lalu, mayoritas legislator menyuarakan keberatannya terhadap wacana tersebut, meskipun pemerintah menargetkan peningkatan penerimaan negara dari sektor cukai.
Salah satu penolakan tegas datang dari Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKB, Hanif Dhakiri. Ia menilai, industri hasil tembakau saat ini tengah menghadapi tekanan berat sehingga kenaikan tarif cukai justru bisa memperburuk kondisi tersebut.
“Kita sudah ada kesepakatan bahwa target pajak dan cukai naik. Tapi di tengah situasi sekarang, kita ingin target itu tercapai, namun tarifnya tidak boleh naik,” ujar Hanif dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan, dikutip Selasa (16/9/2025).
Hanif menyarankan agar pemerintah mengedepankan pendekatan inovatif dan terobosan baru untuk mengejar target penerimaan cukai tanpa harus menaikkan tarif CHT.
“Itu artinya berbagai inisiatif baru, inovasi, dan segala macam menjadi penting untuk memastikan agar target bisa tercapai tapi tarifnya tetap,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa sektor rokok merupakan industri padat karya, sehingga sensitif terhadap kenaikan tarif. Menurutnya, tanpa ada kenaikan tarif pun, tekanan di industri ini sudah sangat terasa.
“Kalau tidak naik saja sudah bermasalah, apalagi kalau naik. Ini bisa menjadi persoalan besar,” tambah Hanif.
Senada dengan Hanif, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Harris Turino, turut menyoroti potensi dampak negatif dari kenaikan cukai rokok. Ia menyebutkan adanya fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tembakau, seperti yang terjadi di perusahaan besar Gudang Garam, sebagai bukti tekanan yang dialami sektor tersebut.
“Kita bisa lihat sekarang, pabrik-pabrik besar pun mulai kesulitan. Kalau cukai naik, apalagi kalau kenaikannya agresif, dampaknya akan sangat berat,” kata Harris dalam rapat dengar pendapat dengan pejabat eselon I Kemenkeu.
Harris mengilustrasikan, kenaikan CHT sebesar 10% saja akan menambah beban sekitar Rp 840 per batang rokok dari harga dasar Rp 1.760. Ia meyakini, tambahan tersebut akan menggerus margin perusahaan sigaret kretek mesin (SKM) hingga titik kritis.
“Kalau naik 10% saja, tidak ada ruang lagi bagi produsen SKM untuk menutup biaya produksinya,” jelasnya.
Sebagai solusi, Harris mendorong pemerintah agar fokus pada pemberantasan rokok ilegal, yang dinilai dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa harus menaikkan tarif.
“Kalau rokok ilegal ini diberantas secara serius, penerimaannya pasti luar biasa,” ujarnya optimistis.
Terkait hal ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa belum ada keputusan final mengenai kebijakan tarif CHT pada 2026. Ia mengaku masih mendalami berbagai data dan potensi, termasuk dampak dari aktivitas ilegal.
“Saya belum menganalisis secara mendalam soal cukai rokok ini. Tapi katanya memang banyak yang main-main. Kalau bisa saya bersihkan, berapa potensi pendapatan yang bisa didapatkan? Dari situ baru saya ambil kebijakan,” kata Purbaya saat ditemui di Istana Negara, Senin (15/9/2025).
Ia juga tidak menutup kemungkinan untuk menurunkan tarif cukai rokok, bergantung pada hasil studi dan kondisi di lapangan.
“Kalau ternyata penanganan rokok ilegal bisa memberikan kontribusi besar, bisa saja tarif tidak naik atau malah diturunkan. Semua tergantung hasil analisa,” lanjutnya.
Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menunjukkan bahwa sepanjang Januari–Juli 2025, produksi rokok nasional mencapai 171,6 miliar batang, atau turun 1,85% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini adalah volume produksi terendah sejak 2018, kecuali pada tahun 2023.
Meski produksi menurun, setoran cukai hingga Juli 2025 justru meningkat 9,26% year-on-year, dengan nilai mencapai Rp 126,85 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan negara dari sektor ini masih tumbuh meskipun tanpa kenaikan tarif.
Sementara itu, target penerimaan bea dan cukai pada 2026 ditetapkan sebesar Rp 334,30 triliun, naik 7,7% dari proyeksi penerimaan tahun 2025 yang sebesar Rp 310,35 triliun.
Penindakan terhadap aktivitas ilegal juga menunjukkan angka yang signifikan. Sepanjang tahun ini, DJBC mencatat 15.757 kasus pelanggaran dengan total nilai barang mencapai Rp 3,9 triliun, mayoritas berasal dari produksi hasil tembakau ilegal. (MP)