Sipirok – JAGAT BATARA. Minggu, 8 Juni 2025. Cerita “Di Balik Lembah Galanggang” di Lembah Hijau yang dikelilingi Barisan Dolok Ginjang, Dolok Sigambah nan gagah, terletak sebuah kampung kecil namun sarat makna: Galanggang, bagian dari Desa Lobu Sinaungan Damparan, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan. Kampung ini mungkin tak banyak dikenal orang di luar, tapi bagi siapa yang pernah menginjakkan kaki di sana, suasananya akan tinggal dalam ingatan.
Pagi di Galanggang dimulai dengan kabut tipis yang turun menyelimuti sawah-sawah bertingkat. Angin dari arah Dolok Ginjang membawa aroma hutan yang masih perawan.
Burung-burung bersahut-sahutan, dan gemericik air dari sungai kecil yang disebut warga sebagai Aek Damparan mengalir tenang. Alamnya seolah masih setia menjaga cerita masa lalu.
Hidup harmonis dalam adat Angkola. Masyarakat di Galanggang adalah bagian dari suku Angkola, subetnis Batak yang terkenal dengan adatnya yang halus dan sarat nilai. Di sini, dalian na tolu bukan sekadar konsep tapi nafas kehidupan. Setiap keputusan besar, dari pembangunan rumah, penentuan pemimpin kampung, hingga urusan jodoh, masih melibatkan musyawarah antara marga: hula-hula, dongan tubu, dan boru.
Konon, pembuka Kampung Galanggang ini ratusan tahun yang lalu adalah Op. Pangolitan Marpaung dengan istrinya Br. Siagian, bersama anaknya 5 orang:
- Op. Tagam
- Op. Amas
- Op. Langge
- Op. Diuk
- Baginda Sia
Di tiap upacara adat seperti pesta horja, penduduk memakai pakaian tradisional ulos dan tarian tor-tor mengiringi suara Gondang Sabungan. Ulos diwariskan turun-temurun sebagai lambang kasih dan restu, dibalut dalam filosofi yang penuh makna.
Kampung yang menyimpan kearifan. Seorang tetua kampung bernama Sutan Makmur Marpaung bercerita kepada awak media Seputarjagat News melalui sambungan telepon selulernya:
“Galanggang sudah banyak melahirkan putra-putri terbaik yang mengabdi pada NKRI, di antaranya ada Perwira TNI, Perwira Polri, Jaksa, dan ada juga yang menjadi Bupati,” ujarnya.
Mata pencaharian utama warga adalah bertani dan berladang. Tanaman seperti kopi, padi ladang, dan kemenyan tumbuh subur di tanah basah yang diperkaya endapan dari bukit. Di sela waktu panen, para pemuda kampung sering mengadakan marpangir di sungai, atau berburu ke hutan sambil menjaga kearifan lokal agar tak merusak alam.
Pesan dari Galanggang.
Di akhir cerita, Sutan Makmur Marpaung (72) berkata,
“Hita do na maradat, na marsipature hutana. Sai ro ma angka dongan, Jakarta marsitokkinan hita, ima tondi pasu-pasu.”
(Kita yang beradab, yang membangun kampung kita. Biarlah sahabat datang dan saling menyapa kita, itulah berkat sejati).
Galanggang bukan sekadar kampung. Ia adalah potongan surga yang menyimpan jejak leluhur dan kearifan Angkola, yang tetap hidup di tengah dunia yang terus berubah.
(Irianto Marpaung – PJI)