Sukabumi – JAGAT BATARA. Minggu, 1 Mei 2025. Sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) swasta di Kabupaten Sukabumi menjadi sorotan publik usai terungkap menerima dua aliran dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam tahun anggaran 2024. SMK Taruna Tunas Bangsa yang berlokasi di Jalan Raya Pelabuhan Ratu KM 22, Bantargadung, diduga mendapatkan bantuan ganda melalui dua skema berbeda dengan sasaran dan waktu pelaksanaan yang hampir serupa.
Berdasarkan hasil penelusuran tim Seputarjagat News, sekolah tersebut menerima dana hibah sebesar Rp600 juta untuk pembangunan dua ruang kelas baru. Di tahun yang sama, SMK ini juga mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp390 juta yang dialokasikan untuk pembangunan gedung perpustakaan melalui mekanisme swakelola dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
Padahal, berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 45 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyaluran Dana Hibah dan Bantuan Sosial, lembaga penerima hanya diperbolehkan menerima satu jenis bantuan dalam satu tahun anggaran untuk program dan sasaran yang sama. Kondisi ini pun menimbulkan pertanyaan besar: mengapa satu sekolah bisa menerima dua sumber anggaran dari provinsi pada tahun yang sama?
Ketika dikonfirmasi pada 26 Mei 2025, Kepala Sekolah SMK Taruna Tunas Bangsa, SN, mengungkapkan bahwa awal mula penerimaan dana hibah bermula dari tawaran seorang kepala sekolah di Pelabuhan Ratu. Tawaran tersebut disebutkan sebagai “aspirasi” dari seorang oknum anggota DPRD Provinsi Jawa Barat berinisial DS. Menurut SN, ada kesepakatan yang mengharuskan pihak sekolah memberikan imbalan sebesar 20% dari dana hibah setelah pencairan, atau sekitar Rp120 juta.
“Setelah sepakat, saya mengajukan proposal melalui SIPD Provinsi Jawa Barat. Bahkan, saya mengajukan dua proposal sekaligus, satu untuk ruang kelas dan satu lagi untuk gedung perpustakaan,” ungkap SN.
SN menambahkan bahwa saat dana hibah dicairkan melalui Bank BRI Palabuhanratu, tim dari oknum anggota dewan tersebut sudah menunggu untuk mengambil bagian komitmen senilai Rp120 juta. Sementara itu, terkait DAK untuk pembangunan perpustakaan, SN mengaku memberikan dana sebesar Rp42 juta kepada seorang konsultan berinisial A untuk mengubah bagian gambar bangunan.
Pengakuan serupa juga datang dari seorang kepala sekolah swasta lain berinisial B, yang pada 28 Mei 2025 menyampaikan kepada media bahwa sekolahnya pernah ditawari bantuan serupa namun menolak. “Waktu itu ada perjanjian tak tertulis, katanya 30% dari pencairan harus diserahkan ke pihak dewan, dan laporan kegiatan akan dibereskan. Tapi yayasan kami menolak karena sulit mempertanggungjawabkannya,” ujarnya.
B mengakui bahwa sistem seperti ini berjalan lancar jika ada kepercayaan dan kedekatan antar pihak, namun tetap rawan menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. “Kalau dekat dan saling percaya, semua bisa jalan. Bahkan bantuan kecil bisa sering dapat,” tambahnya.
Menanggapi hal ini, pemerhati pendidikan DS menilai bahwa praktik seperti ini terjadi karena lemahnya pengawasan serta minimnya integrasi data antar sistem informasi anggaran. “Seharusnya saat satu sekolah sudah tercatat menerima bantuan, sistem menolak pengajuan proposal lainnya. Namun faktanya tidak demikian,” ujarnya.
Penggiat antikorupsi SNW juga menyuarakan keprihatinannya. Menurutnya, praktik ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Oknum anggota DPRD dan pejabat Dinas Pendidikan diduga menyalahgunakan kewenangan mereka. Ini bentuk korupsi yang harus diusut tuntas,” tegas SNW.
Publik pun mendesak aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk turun tangan melakukan audit investigatif serta penelusuran aliran dana. Jika dibiarkan, praktik ini akan menjadi preseden buruk dan mencoreng dunia pendidikan di Jawa Barat.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan oknum anggota DPRD berinisial DS belum memberikan tanggapan maupun berhasil dihubungi oleh awak media.
(RD)