Bandung – JAGAT BATARA. Kamis, 14 November 2024. Perkara gugatan perdata Nomor 578/Pdt.G/2023/PN.Bdg yang tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Bandung semakin menjadi sorotan publik, terutama di kalangan warga Kelurahan Cipamokolan, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung. Kasus ini mencuat karena dugaan pemalsuan dokumen tanah, manipulasi sertifikat, serta penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat setempat. Berbagai fakta dan kesaksian yang terungkap di persidangan semakin mengarah pada potensi skandal yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki kedudukan penting dalam pemerintahan setempat.
Sidang Pemeriksaan Saksi Penggugat: Dugaan Rekayasa Dokumen Jual Beli Tanah
Pada Kamis, 14 November 2024, sidang pemeriksaan saksi dalam gugatan perdata tersebut kembali digelar di Pengadilan Negeri Bandung. Sidang dipimpin oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Majelis Bayu Seno Maharto, SH, MH. Salah satu saksi penting, Shendy Pranoordy, mengungkapkan keterangan mengejutkan mengenai proses pengalihan hak atas tanah milik keluarganya.
Shendy menjelaskan bahwa ayahnya, Doddy Heriadi, tidak pernah menerima kuasa untuk menjual tanah dari Ir. Effendy Ermadi, baik secara tertulis maupun lisan. Namun, dalam dokumen AJB (Akta Jual Beli) Nomor 198 dan Nomor 197 yang diterbitkan pada tahun 1987, Doddy Heriadi tercatat sebagai penerima kuasa penjual. Tanah tersebut diklaim telah dijual kepada Ir. Djohar Hayat dengan memberi kuasa lisan kepada Yudiawati Hayat, namun menurut Shendy, transaksi tersebut tidak pernah terjadi.
Lebih lanjut, Shendy mengungkapkan bahwa sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 574 yang awalnya terdaftar atas nama Ir. Djohar Hayat pada tahun 1986, pada tahun 2023 dialihkan ke nama Rika Fatmawati dengan terbitnya sertifikat baru Nomor 4531. Sementara itu, SHM Nomor 575, yang sebelumnya juga tercatat atas nama Ir. Djohar Hayat, kini beralih ke tangan Dr. Iman Rahayu, Master Sains. Fakta ini memperkuat dugaan adanya manipulasi terhadap dokumen AJB tersebut.
Keterlibatan Oknum Pejabat Kelurahan Cipamokolan dalam Pengalihan Hak Atas Tanah
Saksi lain, Rodiah, seorang ahli waris dari RD Moch. Nurhadi Bin Adiwangsa, menerangkan kepada awak media terkait dugaan pemalsuan data dan pengalihan hak atas tanah yang diduga melibatkan oknum pejabat Kelurahan Cipamokolan. Rodiah menceritakan bahwa pada tahun 2005, Rahmat Suhara, yang saat itu menjabat sebagai Juru Tulis (Sekdes) di Kelurahan Cipamokolan, mengeluarkan surat pernyataan mengenai luas tanah yang dikuasai oleh Ajat, penjaga tanah milik keluarganya. Dalam surat tersebut, luas tanah yang tercatat adalah 10.350 m² sudah menjadi berkurang akibat tercoret sisa 5.800 m², namun pada 2010, setelah Rodiah mendatangi kelurahan untuk membayar pajak, luas tanah tersebut tiba-tiba tercatat hanya 2.400 m² sesuai keterangan Lurah Cipamokolan Drs. Asep Tamim.
Rodiah menegaskan bahwa ayahnya, RD Moch. Nurhadi, yang meninggal pada tahun 1983, tidak pernah menjual tanah tersebut kepada pihak manapun. Ia merasa sangat aneh karena tanah warisan tersebut tiba-tiba berkurang luasannya tanpa adanya transaksi jual beli yang sah. Ia menduga kuat bahwa tindakan pemalsuan data tanah tersebut melibatkan pejabat setempat, termasuk lurah dan camat yang bertugas pada periode tersebut.
Surat Keterangan Lurah yang Mencurigakan
Pada 23 Agustus 2022, Rodiah kembali meminta keterangan terkait status tanah keluarganya kepada Lurah Cipamokolan. Dalam surat balasan yang dikeluarkan oleh Lurah Cipamokolan, Tito Prihatin, tercatat bahwa tanah yang sebelumnya atas nama RD Moch. Nurhadi Bin Adiwangsa kini telah terbit sertifikat atas nama Ir. Djohar Hayat. Hal ini semakin memperkuat dugaan adanya tindakan penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat kelurahan dalam mengalihkan hak atas tanah tersebut.
Kepentingan Pihak Tertentu dalam Pengosongan Tanah
Dalam perkembangan selanjutnya, Agus Suhendar, anak dari Ajat yang selama ini menguasai tanah tersebut, memberikan penjelasan lebih lanjut. Agus mengungkapkan bahwa pada tahun 2001, ayahnya pernah dilaporkan ke Polda Jawa Barat dengan tuduhan Pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penyerobotan tanah. Meskipun laporan tersebut telah diterima, kasus tersebut tidak pernah dilanjutkan ke pengadilan. Menariknya, Agus mengungkapkan bahwa meskipun pihaknya yang dilaporkan, tetapi ahli waris RD Moch. Nurhadi, tidak pernah dipanggil oleh pihak kepolisian, pada tahun 2023.
Investigasi Terhadap Surat LP dan Penetapan Sita
Pada September 2024, Agus bersama kuasa hukum keluarga RD Moch. Nurhadi mengunjungi Polda Jabar untuk melakukan klarifikasi mengenai laporan polisi (LP) yang diterima pada tahun 2001. Pihak Pelayan Piket Direskrimum mengungkapkan bahwa LP tersebut diduga “bodong”, karena tidak tercantum nomor registrasi dan tidak tercatat atas nama Aipda Suyono, yang ternyata sudah pensiun dari kepolisian. Namun, yang lebih mengherankan lagi, meskipun laporan tersebut tidak sah, pengadilan tetap mengeluarkan penetapan sita terhadap surat-surat tanah yang tidak ada hubungannya dengan laporan polisi tersebut. Agus pun mempertanyakan siapa yang sesungguhnya mengajukan permohonan sita tersebut ke Pengadilan Negeri Bandung.
Pertanyaan Besar yang Belum Terjawab
Di tengah permasalahan yang terus berkembang, satu pertanyaan besar muncul: Di mana letak tanah yang terdaftar dalam Sertifikat SHM Nomor 574 dan 575? Sertifikat tersebut diterbitkan pada tahun 1986, namun tanah tersebut baru “menduduki” tanah milik keluarga RD Moch. Nurhadi pada tahun 2023. Fakta-fakta yang terungkap selama persidangan dan keterangan dari berbagai pihak menunjukkan adanya rekayasa dalam pengalihan hak atas tanah yang melibatkan dokumen palsu dan manipulasi data pertanahan.
Penutup: Keadilan yang Terhambat
Kasus ini membuka peluang untuk penyelidikan lebih lanjut oleh aparat penegak hukum dan memberikan gambaran mengenai praktik buruk dalam administrasi pertanahan di tingkat kelurahan. Masyarakat menantikan apakah pihak-pihak yang terlibat dalam pemalsuan dokumen dan pengalihan sertifikat tanah ini akan mendapat sanksi yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Harapan publik adalah agar kasus ini diselesaikan dengan adil, serta menjadi pembelajaran penting dalam menjaga integritas dan kepercayaan terhadap sistem pertanahan di Indonesia. (Sam)