Bandung – JAGAT BATARA. Kebijakan pembatasan jam malam bagi pelajar di Jawa Barat yang diterapkan oleh Gubernur Dedi Mulyadi menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan. Salah satu yang menolak adalah Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut, karena dinilai kurang mempertimbangkan kondisi sosial dan tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak.
Ketua Fortusis Jawa Barat, Dwi Subianto, menyampaikan keberatannya secara tegas. Ia mempertanyakan nilai edukasi dari pembatasan jam malam ini, mengingat pelajar sudah menjalani aktivitas belajar dari pagi hingga sore hari.
“Iya sangat keberatan. Jadi nilai edukasinya dimana, itu kan anak sudah sekolah dari pagi sampai sore, terus malam nggak boleh main, keliru dong,” ujar Dwi saat dihubungi, Selasa (27/5/2025).
Dwi juga menolak anggapan bahwa semua pelajar yang keluar malam melakukan hal negatif. Menurutnya, banyak pelajar yang mendapatkan inspirasi saat beraktivitas di malam hari, misalnya berdiskusi atau mengerjakan tugas bersama teman.
“Tidak semua pelajar keluar malam itu berbuat hal yang negatif. Ada anak yang di malam hari justru mendapat inspirasi. Misalnya bawa laptop, ngobrol sama temannya menemukan gagasan, mendapat ide baru,” jelasnya.
Menanggapi penolakan tersebut, Plt Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Deden Saepul Hidayat, mengaku memahami dan tidak mempermasalahkan sikap Fortusis. Ia menganggap beragam persepsi adalah hal yang wajar ketika menghadapi kebijakan baru.
Menurut Deden, fokus utama dari kebijakan jam malam ini adalah menjaga kesehatan dan kesejahteraan pelajar, sekaligus mencegah anak-anak terpapar hal negatif yang sering terjadi di malam hari.
“Persepsi bisa macam-macam, tergantung sudut pandang mana. Kalau sudut pandang kami, lebih pada bagaimana anak-anak supaya sehat,” ujar Deden, Rabu (28/5/2025).
Deden menjelaskan bahwa dalam aturan jam malam ini, tetap ada pengecualian bagi pelajar yang perlu beraktivitas di malam hari, asalkan dalam pengawasan orang tua dan diketahui oleh mereka. Misalnya kegiatan keagamaan yang masih diawasi oleh sekolah atau orang tua.
“Namanya jam malam, artinya membatasi anak-anak untuk tidur tidak terlalu larut malam. Itu sesuai dengan perlindungan anak sebetulnya. Dari sisi kesehatan, psikologi dan sebagainya itu masuk. Pengecualiannya, kegiatan keagamaan yang tetap dalam pengawasan sekolah atau orang tua,” terang Deden.
Ia juga menambahkan bahwa surat edaran terkait jam malam memuat anjuran agar sekolah memberikan edukasi kepada orang tua mengenai pentingnya membiasakan anak untuk tidur pukul 9 malam demi kesehatan dan kesiapan belajar.
“Sekolah diharuskan memberi edukasi agar orang tua memerankan anak-anak supaya sehat, terkondisi belajar dengan baik. Tidur jam 9, bangun setengah 4, tahajud, sholat. Itu saya pikir sudah kebiasaan. Bagus kalau begitu,” tambahnya.
Deden mengingatkan bahwa kebiasaan anak berkeluyuran hingga malam masih banyak terjadi, sehingga edukasi dan advokasi dari sekolah dan orang tua sangat dibutuhkan untuk membiasakan pola hidup sehat.
“Selebihnya kami harap kepala sekolah memberikan edukasi, advokasi pada siswa atau edukasi pada orang tua, karena terus terang banyak anak kita usia remaja masih berkeluyuran sampai malam,” pungkasnya. (Red)