Jakarta – JAGAT BATARA. Kamis, 21 November 2024. Rina Pertiwi, mantan Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, yang didakwa menerima suap senilai Rp 1 miliar terkait dengan pengurusan eksekusi lahan milik salah satu perusahaan BUMN, mengajukan permohonan untuk dialihkan status tahanannya dari Rumah Tahanan (Rutan) menjadi tahanan kota. Permohonan ini diajukan oleh kuasa hukum Rina seusai pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis, 21 November 2024.
“Yang Mulia, permohonan yang kami sampaikan adalah terkait dengan pengalihan status tahanan Terdakwa dari tahanan rutan menjadi tahanan kota, dengan alasan kesehatan Terdakwa,” ujar kuasa hukum Rina, setelah mendengar dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa.
Namun, permohonan tersebut disikapi dengan hati-hati oleh Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto. Dalam tanggapannya, Hakim Eko menegaskan bahwa perkara yang dihadapi oleh Rina Pertiwi adalah perkara “extraordinary crime,” yang mengarah pada tindak pidana luar biasa. “Ini adalah perkara extraordinary crime, yang artinya sangat serius. Kami akan mempertimbangkan permohonan ini, namun tetap dengan memperhatikan seluruh aspek hukum yang berlaku,” ujar Hakim Eko.
Rina Pertiwi tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Jaksa menyebutkan bahwa dalam persidangan nanti, sebanyak 30 saksi akan dihadirkan untuk memberi keterangan mengenai kasus ini. “Ada 30 saksi yang akan kami hadirkan dalam persidangan ini,” kata Jaksa dalam persidangan.
Sidang ini pun ditunda dan dijadwalkan kembali pada Kamis, 5 Desember 2024, pukul 09.00 WIB. “Sidang ditunda sampai tanggal 5 Desember, dan Terdakwa akan kembali ke tahanan. Sidang ditutup,” kata Hakim Eko menutup persidangan.
Dakwaan dan Tindak Pidana yang Dituduhkan
Rina Pertiwi didakwa menerima suap dengan total Rp 1 miliar terkait dengan pengurusan eksekusi lahan perusahaan BUMN. Jaksa menyatakan bahwa Rina menerima bagian sebesar Rp 797 juta dari total uang suap tersebut. Jaksa juga menegaskan bahwa pemberian uang tersebut diduga diberikan sebagai akibat dari tindakan atau kelalaian Rina dalam menjalankan jabatannya sebagai Panitera, yang bertentangan dengan kewajibannya.
“Rina Pertiwi telah menerima hadiah yang diketahui atau patut diduga diberikan sebagai akibat atau disebabkan oleh tindakannya yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya,” kata Jaksa saat membacakan surat dakwaan. Rina Pertiwi dijerat dengan Pasal 12 huruf b, Pasal 12B, atau Pasal 5 ayat 2, serta Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan seorang aparat pengadilan, yang seharusnya menjadi penegak hukum yang adil dan bebas dari pengaruh luar. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum aparat hukum ini semakin memperburuk citra institusi peradilan di Indonesia. Oleh karena itu, penanganan perkara ini sangat dinantikan oleh masyarakat untuk memastikan proses hukum berjalan dengan transparan dan akuntabel. (Red)