Kab. Sukabumi – JAGAT BATARA. Senin 28, Oktober 2024. Awak media mengungkapkan informasi terkait maraknya dugaan pungutan liar (pungli) dalam kegiatan pembangunan jaringan irigasi dan Jalan Usaha Tani (JUT) di Kabupaten Sukabumi.
Pemeliharaan jaringan irigasi sangat penting untuk memastikan kelancaran operasional dan kelestarian sumber daya air. Di sisi lain, Jalan Usaha Tani dibangun untuk mempermudah akses ke lahan pertanian. Namun, dalam APBD Kabupaten Sukabumi tahun 2023, alokasi anggaran untuk rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tercatat sebesar Rp 38.615.570.000. Sementara untuk pembangunan rehabilitasi dan pemeliharaan jalan usaha tani sebesar Rp 13.543.214.000
Muncul permasalahan ketika kelompok tani berinisial H dari Kecamatan Warung Kiara mengungkapkan kekecewaannya kepada awak media pada 21 Oktober 2024. Menurut H, yang dibutuhkan masyarakat adalah pembangunan bendungan dan dam parit, namun yang direalisasikan hanya jaringan irigasi sepanjang 200 meter dengan anggaran Rp 185 juta. Pekerjaan tersebut dilaksanakan oleh CV dari Palabuhanratu berdasarkan kontrak yang bersumber dari aspirasi DPRD. H menambahkan bahwa menurut catatannya, hanya sekitar 50% dari anggaran yang dikerjakan dengan baik.
Hal serupa juga disampaikan oleh UJ, Ketua Kelompok Tani di Desa Bojong Kerta, Kecamatan Warung Kiara. Dia menegaskan bahwa kelompoknya tidak pernah mengajukan pembangunan jaringan irigasi, namun seolah-olah kelompoknya tercatat sebagai penerima manfaat. UJ menekankan bahwa proyek tersebut dikerjakan oleh perusahaan yang telah ditunjuk, dan pemilik perusahaan tersebut adalah anggota DPRD Kabupaten Sukabumi yang baru terpilih, berinisial H.
Pada 28 Oktober 2024, seorang anggota Kelompok Tani (TJ) dari Desa Neglasari, Kecamatan Purabaya, Kabupaten Sukabumi, mengungkapkan kekecewaannya kepada awak media Seputarjagat News terkait dugaan penyimpangan anggaran untuk pembangunan Jalan Usaha Tani. Kelompoknya menerima anggaran sebesar Rp 190.000.000, namun Kepala Desa Neglasari (LR) meminta 30% dari setiap pencairan, totalnya sekitar Rp 57.000.000. Menurut keterangan sang kepala desa, dana tersebut akan diserahkan kepada seseorang melalui transfer, namun tidak dijelaskan siapa penerima uang tersebut.
Hal senada disampaikan oleh seorang anggota Kelompok Tani (TJ 4) yang memilih untuk tidak disebutkan namanya. Dia menambahkan bahwa setelah menerima anggaran, hasil rapat menunjukkan bahwa hanya Rp 119.000.000 yang digunakan. Ketika ditanyakan tentang sisa dana, ketua kelompok berinisial (I), yang juga menjabat sebagai Sekretaris Desa Purabaya, terdengar panik dalam pembicaraan melalui telepon. Dalam percakapan tersebut, I menyebutkan “pajak dan setor kesana,” tetapi tidak jelas kepada siapa dana itu akan disetorkan.
Sementara itu, seorang anggota kelompok tani dari Kecamatan Curug Kembar mengungkapkan modus berbeda dalam pengelolaan anggaran. Menurutnya, pemilik program seringkali bertemu dengan kelompok tani untuk membicarakan komitmen fee sebelum anggaran cair. Setelah pencairan, dana tersebut diambil oleh orang yang memiliki program, dengan variasi komitmen fee yang berbeda-beda.
Dugaan penyimpangan anggaran ini menimbulkan keresahan di kalangan kelompok tani di Kabupaten Sukabumi, yang mendesak perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pembangunan pertanian.
Ketika awak media Seputar Jagat News meminta tanggapan dari seorang penggiat anti korupsi berinisial Dod mengenai dugaan penyimpangan di Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi. Dod mengungkapkan bahwa persoalan serupa tampaknya terjadi hampir setiap tahun, namun baru kali ini mendapat perhatian dari media dan lembaga swadaya masyarakat.
“Berdasarkan data yang kami kumpulkan sejak tahun 2022 hingga saat ini, kami akan melaporkan temuan ini kepada aparat penegak hukum di Jawa Barat. Modusnya tampak melibatkan penggunaan pihak ketiga untuk mengaburkan jejak,” ujarnya.
Dod juga menyoroti keprihatinan atas ketidakpuasan kelompok tani. Menurutnya, kelompok tani yang seharusnya mendapatkan bantuan berupa bendungan dan parit, malah menerima proyek yang belum diperlukan. Ia menekankan bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan oleh perusahaan yang ditunjuk oleh pemilik aspirasi, yang berpotensi merugikan masyarakat kecil.
“Ini menunjukkan bahwa pengadaan barang dan jasa dikelola secara tidak transparan, baik di tingkat aspirasi maupun di Dinas Pertanian sebagai pengguna anggaran,” tambahnya.
Dugaan penyimpangan ini mengundang perhatian lebih dari masyarakat, yang mendesak agar proses pengadaan dilakukan secara akuntabel demi kepentingan pertanian lokal. (DS)