Jakarta – JAGAT BATARA. Rabu, 27 November 2024. Dalam sebuah putusan yang menarik perhatian, Ketua Majelis Hakim Tumpanuli Marbun menegaskan bahwa penyidik dalam kasus korupsi tidak harus bergantung pada hasil perhitungan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk membuktikan kerugian negara. Dalam persidangan kasus mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 26 November 2024, Hakim Marbun menguraikan bahwa perhitungan kerugian negara dapat dilakukan melalui ahli atau instansi lain yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang serupa dengan BPK dan BPKP.
Hakim Marbun menegaskan, “Penyidik dapat menggunakan ahli di bidang keuangan negara atau lembaga lain yang memiliki kapasitas untuk melakukan perhitungan kerugian negara. Ini juga sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 003, yang menyatakan bahwa pembuktian kerugian negara tidak harus melibatkan BPK atau BPKP, melainkan cukup dengan bukti yang diperoleh dari ahli atau instansi yang berkompeten.”
Dalam penjelasannya, Hakim Marbun juga merujuk pada Putusan MK Nomor 31/2003, yang memberikan ruang bagi penyidik untuk berkoordinasi tidak hanya dengan BPK dan BPKP, tetapi juga dengan instansi lain yang memiliki kewenangan yang serupa dalam mengaudit kerugian negara. Hal ini, menurut hakim, memperluas peluang bagi penyidik untuk menggunakan berbagai sumber daya dalam mendalami dan membuktikan kerugian yang telah terjadi akibat tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut, Hakim Marbun menyoroti pentingnya membuktikan kerugian negara dengan fakta yang sudah terjadi (aktual loss) dan bukan hanya perkiraan atau potensi kerugian (potential loss). “Kerugian negara yang dimaksudkan dalam hukum tidak lagi dapat dipahami sebagai suatu potensi kerugian, tetapi harus merupakan kerugian yang nyata dan sudah terjadi,” ujar Hakim Marbun, mengutip Putusan MK Nomor 25 yang menegaskan bahwa bukti kerugian negara cukup dengan adanya fakta kerugian yang dapat dihitung oleh ahli di bidang keuangan dan analisis kerugian.
Seiring dengan penjelasan tersebut, Hakim Marbun menambahkan bahwa perhitungan kerugian negara yang diajukan tidak perlu mencapai angka yang mutlak atau final. “Cukup dengan adanya bukti kerugian yang nyata, yang sudah dapat dihitung oleh ahli. Perhitungan kerugian negara tidak harus bersifat final, karena hal itu akan diuji lebih lanjut dalam proses persidangan oleh majelis hakim,” jelasnya.
Penolakan Permohonan Praperadilan Tom Lembong
Dalam kesempatan yang sama, Hakim Marbun juga menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang menjadi tersangka dalam kasus ini. Permohonan yang mengajukan keberatan terhadap penetapan tersangka dan penahanan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) tersebut dinyatakan tidak sah oleh majelis hakim.
Hakim Marbun mengungkapkan, “Menimbang pertimbangan hukum yang ada, maka alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon dalam permohonan praperadilan tersebut tidak dapat diterima. Penetapan tersangka terhadap Tom Lembong oleh Kejagung telah dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.”
Dengan penolakan permohonan tersebut, maka proses hukum terhadap Tom Lembong dapat berlanjut tanpa gangguan. Hakim Marbun menegaskan bahwa alat bukti lain yang diajukan dalam permohonan praperadilan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut. “Oleh karena itu, permohonan praperadilan ditolak dan proses penyidikan terhadap pemohon tetap sah,” tegasnya.
Keputusan ini menjadi tonggak penting dalam proses hukum terhadap mantan Menteri Perdagangan tersebut, menunjukkan bahwa upaya hukum yang dilakukan untuk menggugat penetapan tersangka dan penahanan tidak berhasil. Dengan demikian, perkara ini akan terus bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Red)