Kota Bandung – JAGAT BATARA. Selasa, 29 Oktober 2024. Nenek Mardiati, seorang warga berusia 81 tahun, menceritakan kisah pilunya mengenai tanah warisan yang diduga diserobot oleh mafia tanah di Kelurahan Cipamokolan, Kecamatan Rancasari, Bandung. Kasus ini kini sedang bergulir di Pengadilan Negeri Bandung, dengan nomor perkara perdata 578/Pdt.g/2023, yang melibatkan ahli waris RD Moh Nurhadi bin Adiwangsa sebagai penggugat dan beberapa pihak sebagai tergugat.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Bayu Seno Maharto SH, MH, dan dua hakim anggota, Aloysius Rianto SH, MH dan Eti Kurniati SH, saat ini berlangsung pemeriksaan saksi-saksi dari penggugat. Nenek Mardiati mengungkapkan bahwa suaminya, almarhum RD Moh Nurhadi, memiliki sebidang tanah seluas 10.350 m², terdaftar dalam letter C Kohir 547 persil 37.S IV atas nama Nurhadi Muhammad. Tanah tersebut terletak di blok Cipamokolan, yang kini telah dimekarkan menjadi Blok Lio Rt 005/Rw 001.
Menurut Mardiati, tanah tersebut sudah dikuasai oleh keluarganya sejak tahun 1953, berdasarkan surat jual beli yang sah. Namun, sejak tahun 1980 hingga 2018, tanah tersebut dititipkan kepada Ajat Sudrajat dan setelah Ajat meninggal, anaknya Agus Suhendar meneruskan pengelolaannya hingga tahun 2023. Sayangnya, pada tahun 2023, tanah itu diserobot oleh pihak yang mengaku sebagai pengembang yang memiliki sertifikat atas nama Ir. Djohar Hayat.
“Saya sering melihat tanah itu meskipun tidak tinggal di sana, dan sangat terkejut mengetahui bahwa tanah warisan keluarga saya diserobot,” ungkap Mardiati. Dia berharap keadilan dapat ditegakkan dan hak atas tanah warisan mereka dapat dikembalikan.
Kasus ini menarik perhatian masyarakat dan menjadi sorotan terkait isu mafia tanah yang masih terjadi di Indonesia, mendorong warga untuk lebih waspada terhadap praktik ilegal yang merugikan pemilik sah.
Rodiah, anak almarhum Rd. Nurhadi bin Adiwangsa, mengungkapkan kekecewaannya terkait dugaan penjualan tanah milik keluarganya oleh mafia tanah. Dalam pernyataannya kepada awak media, Rodiah mengisahkan bahwa dirinya dan ibunya telah berusaha menanyakan keberadaan girik dan letter C 547 yang terdaftar atas nama orang tuanya sejak tahun 2002. Namun, mereka merasa tidak mendapatkan informasi yang jelas dari Sekretaris Kelurahan Cipamokolan, almarhum Rahmat Suhara, yang terkesan menyembunyikan dokumen penting tersebut.
“Pada tahun 2005, saya kembali ke Kelurahan Cipamokolan dan bertemu dengan Rahmat Suhara. Saat itu, beliau membuat Surat Pernyataan pada tanggal 15 Oktober 2005 yang menyebutkan bahwa tanah atas nama Rd. Moch. Nurhadi bin Adiwangsa tersisa 5800 m² setelah tercoret dari catatan sejak tahun 1980 hingga 2001,” jelas Rodiah.
Lebih lanjut, Rodiah menunjukkan surat keterangan dari Lurah Drs. Asep Tamim pada 29 September 2010, yang menyatakan bahwa luas tanah ayahnya kini hanya tersisa 2400 m². Kemudian, surat keterangan dari Lurah Tito Prihatin, S.Pd. MM, pada 23 Agustus 2022, mengindikasikan bahwa tanah tersebut telah diterbitkan sertifikat atas nama Ir. Djohar Hayat.
“Dari semua informasi ini, kami menduga bahwa tanah ayah saya telah dijual oleh sekelompok mafia tanah,” tegas Rodiah, menekankan kesedihan dan kebingungannya atas situasi yang dihadapi keluarganya.
Kasus ini semakin memicu perhatian publik terkait praktik mafia tanah yang merugikan banyak pihak dan menuntut agar penegakan hukum dilakukan secara tegas untuk melindungi hak-hak pemilik tanah yang sah. Rodiah berharap keadilan dapat ditegakkan dan tanah warisan keluarganya dapat dikembalikan.
Kasus tanah yang melibatkan keluarga almarhum Rd. Nurhadi bin Adiwangsa semakin mengungkapkan kejanggalan dalam kepemilikan sertifikat. Rodiah, putri dari Nurhadi, menyatakan bahwa sertifikat nomor 574 dan nomor 575 yang dikeluarkan atas nama Ir. Djohar Hayat tidak berasal dari Kohir C 547 milik ayahnya. Sertifikat tersebut diklaim berasal dari Kohir C 1940 dan Kohir C 3157, yang menimbulkan pertanyaan serius tentang kepemilikan yang sah.
“Yang sangat mengenaskan adalah bahwa kedua sertifikat ini tidak memiliki hubungan dengan tanah milik ayah saya, yang seharusnya tercatat di Kohir C 547,” ungkap Rodiah. Ia menambahkan bahwa menurut Lurah Cipamokolan, Tito Prihatin, tanah ayahnya sudah memiliki sertifikat atas nama Ir. Djohar Hayat sejak tahun 2022. “Padahal, ayah saya tidak pernah menjual tanah tersebut kepada siapapun,” tegasnya.
Rodiah mempertanyakan kepemilikan sertifikat SHM nomor 574 dan 575, serta asal usul Kohir C 1940 dan C 3157. “Siapa sebenarnya pemilik Kohir C 1940 dan C 3157? Semua tanah yang ada di area tersebut seharusnya berdasarkan Kohir C 547 milik ayah saya,” lanjutnya dengan nada penuh harap.
Melalui media ini, Rodiah mewakili keluarganya mengajak masyarakat untuk memantau proses peradilan yang sedang berlangsung. “Kami berharap pengadilan dapat memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi perhatian publik dan menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan sertifikat tanah, serta perlunya perlindungan hukum bagi pemilik tanah yang sah. Keluarga Nurhadi berharap keadilan segera terwujud demi menghentikan praktik penipuan yang merugikan banyak pihak. (Sam)