Surabaya — JAGAT BATARA. Kasus tragis ambruknya bangunan tiga lantai mushala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, kini resmi naik ke tahap penyidikan. Polda Jawa Timur telah menetapkan empat pasal berlapis dalam penyelidikan kasus yang menewaskan puluhan orang tersebut.
Empat pasal itu meliputi Pasal 359 dan Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 46 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Langkah ini dinilai sudah tepat oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Sapta Aprilianti, yang menilai pasal-pasal tersebut sejalan dengan peristiwa hukum yang terjadi.
“Kalau tepat tidaknya nanti bergantung pada pengadilan. Tapi setidaknya empat pasal itu yang dilabeli penyidik sudah sesuai dengan fakta yang terjadi,” kata Sapta saat dihubungi, Jumat (10/10/2025).
Dalam penjelasan Sapta, Pasal 359 KUHP mengatur tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian orang lain, sementara Pasal 360 KUHP menjerat pihak yang lalai hingga menyebabkan orang lain terluka.
“Kalau 359, mahasiswa hukum tutup mata saja ketika ada matinya orang, setidaknya pasti kealpaan. Jadi terkait itu saya rasa sudah tepat. Cuma tinggal tunggu fakta lebih jelas,” ujarnya.
Sementara itu, dua pasal dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 mengatur tentang tanggung jawab pemilik dan pengguna bangunan yang melanggar ketentuan teknis konstruksi.
“Ini kan matinya orang, tertimbun oleh bangunan, maka patut diduga ada kesalahan konstruksi. Nah, kita punya Undang-Undang Konstruksi itu,” tambah Sapta.
Meski sudah masuk tahap penyidikan, hingga kini penyidik Polda Jatim belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut. Tim penyidik masih melakukan pendalaman terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam proses pembangunan mushala.
Menurut Sapta, pihak yang paling berpotensi menjadi tersangka adalah mereka yang memiliki keterkaitan langsung dengan pembangunan fisik mushala, seperti kontraktor, pengawas proyek, atau bahkan pihak pesantren jika terbukti turut berperan dalam pengambilan keputusan konstruksi.
“Bidang hukum itu mencari orang yang paling dekat dengan timbulnya akibat. Apakah kontraktor? Ponpes? Ya, kemungkinan bergantung pada fakta. Jadi siapa pun yang terkait berpotensi ditetapkan sebagai tersangka,” jelasnya.
Sapta juga menambahkan, dalam hukum pidana, tanggung jawab tidak hanya dibebankan pada pelaku utama, tetapi juga pada pihak yang menyuruh, mengarahkan, atau turut menyebabkan tindak pidana karena kealpaan.
“Definisi pelaku bukan hanya orang yang melakukan, tetapi juga orang yang menyuruh melakukan,” tegasnya.
Peristiwa memilukan itu terjadi pada Senin sore, 29 Oktober 2025, saat bangunan tiga lantai mushala di kompleks Ponpes Al Khoziny tiba-tiba roboh saat kegiatan keagamaan berlangsung.
Berdasarkan data Badan SAR Nasional (Basarnas), total terdapat 171 korban dalam insiden tersebut. Dari jumlah itu, 104 orang berhasil diselamatkan, sementara 67 orang meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan bangunan.
Tim SAR Gabungan bekerja selama sembilan hari penuh untuk mengevakuasi seluruh korban. Upaya pencarian dilakukan dengan alat berat dan anjing pelacak, mengingat sebagian besar korban tertimbun di bawah puing beton dan besi konstruksi.
Hingga kini, penyidik Polda Jatim masih menunggu hasil audit teknis dari tim ahli konstruksi untuk memastikan penyebab utama ambruknya bangunan. Dugaan awal mengarah pada adanya kelalaian dalam proses pembangunan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap standar struktur dan keselamatan bangunan.
Kasus ini menjadi sorotan nasional, karena menyangkut keselamatan santri dan standar keamanan bangunan lembaga pendidikan berbasis pesantren. Publik kini menanti langkah tegas kepolisian dalam mengusut tuntas pihak yang bertanggung jawab atas tragedi yang menelan puluhan nyawa ini. (MP)